SelaSastra Boenga Ketjil #22 Bincang Buku
"Aku dan Film India Melawan Dunia"
Mahfud Ihkwan, Anjrah Lelono Broto, 1 Oktober 2017
Akan tetapi, Mahfud Ikhwan menampik anggapan rendahan tersebut lewat buku ‘Aku dan Film India Melawan Dunia’. Mahfud menyampaikan ‘semacam pembelaan’ itu saat diskusi di Warung Boenga Ketjil Parimono pada 1 Oktober 2017 pukul 20:27, bahwa film India justru memiliki kualitas –tidak hanya videografi, tapi tema cerita- yang sangat baik.
Mahfud memaparkan khas fanatisme seorang penggemar. Seperti fanatisme supporter sepakbola terhadap klub kesayangannya. Pembela nomor wahid! Melalui pemaparan yang lengkap dan detil, penulis novel Kambing dan Hujan tersebut bahkan mengkafirkan mereka, yang menyebut diri sebagai orang yang gila film tapi menutup mata akan indahnya film India. Ini karena film India terbukti sangat berkualitas.
Mahfud mengatakan, Siapapun boleh mengabaikan atau bahkan membenci film India, entah karena alasan absurd yang disebut “selera” atau melindungi diri dari label cita rasa rendah yang dilekatkan pada film India (hal 93). Faktanya, banyak film India berkualitas yang (dulu) tidak banyak beredar di layar kaca.
Banyak orang menyukai film India, tapi tidak banyak yang mau mengakuinya. Fenomena tersebut lantas bisa menjawab bahwa ternyata masyarakat kita rupanya terjangkiti dan menderita snobisme dan inferiority complex. Masyarakat kita cenderung tidak memiliki keberanian untuk mengakui dirinya, apa yang ia suka, apa pemikirannya, dan apa film kegemarannya. Sehingga cenderung berlindung di balik kelas sosial yang dominan, bahkan merendahkan kelas sosial lain yang dinilai rendahan hanya untuk meninggikan dirinya.
Di tengah digdaya film Hollywood, film India adalah sasaran anggapan film rendahan. Sehingga, kebanyakan orang menyukai film India secara diam-diam tanpa berani mengakuinya. Begitu juga bioskop-bioskop, lebih banyak memutar film-film Hollywood. Lalu bagaimana film India? Kata Mahfud, bahkan lebih mudah mendapatkan film porno dari pada film India.
Padahal ada sebuah kenyataan yang tidak mengemuka, bahwa sebenarnya film India tidak kalah berkualitas dari film-film dunia. Bahkan –meminjam kacamata Mahfud Ihwan- bisa jadi jauh lebih baik. Ini karena di layar kaca televisi hanya terputar beberapa film India saja. Lebih dari itu, sebenarnya berjuta-juta film India berkualitas telah diproduksi.
Tentu kualitas dan keindahan film India tidak sekedar gemulai tarian dengan warna-warninya atau tubuh molek yang membuat mata tidak berkedip. Mahfud memblejeti film India sebagai film yang sangat berani, peka, penuh kritik sosial hingga kritik idiologi. Bahkan film India begitu berani dan gamblang dalam menyertakan ideologi tertentu –yang di Indonesia masih seperti penyakit yang menjadi alergi banyak orang- seperti Komunis, misalnya.
Salah satu di antarnya, The Legend of Baghat Singh (2002) bercerita tentang Bhagat Singh, seorang pemuda Sikh komunis-anarkis yang memimpin jalan kekerasan. Yang menjadi menarik, Bhagat Singh di film tersebut digambarkan membaca Lenin sesaat sebelum digantung (hlm 2). Aroma-aroma paham kiri juga dimainkan oleh Sutradara Aparna Sen yang iseng menyisipkan teriakan massa “Kaum buruh sedunia bersatulah!” dalam film The Japanese Wife (2010). Juga, film komedi Matru Ki Bijlee Ka Mandola (2013) memasukkan aroma Maoisme. Film India dalam penelusuran Mahfud banyak diwarnai idiologi “palu arit” tersebut. Sangat mudah disimpulkan bahwa anasir-anasir komunisme bukan saja ada, bukan semata mewarnai, melainkan menjadi warna tersendiri dan cukup mencolok dalam industri film India (hlm 22).
Film India yang tak kalah menarik adalah Gandhi, My Father. Film garapan Anil Kapoor tersebut menyodorkan sisi lain Gandhi. Gandhi yang bagi masyarakat India bahkan dunia adalah seorang ‘dewa’, justru menjadi seorang yang gagal dalam mendidik anaknya, Harilal Gandhi. Anak Ghandi tersebut melawan bapaknya dengan mabuk-mabukan, meninggalkan istrinya, berhutang di warung-warung, hingga berganti-ganti agama. Menggunakan sudut pandang Harilal, film tersebut berhasil memberikan kesimpulan: “Gandhi berhasil menjadi bapak bagi seluruh umat manusia, tapi dia gagal menjadi bapak bagi anak sulungnya sendiri” (hal 33).
Mahfud mengulas Film India tidak hanya sekedar alur dan cerita film yang mengharu-biru dan penuh dongeng cinta ala Sakhrukh Khan dalam film Kuch-Kuch Hota Hai. Lebih dari itu, hampir di setiap ulasan, ada komparasi dengan film Indonesia yang dinilai kalah berani dalam mengangkat tema-tema cerita.
Film India begitu berani memungut tema dari masyarakat lantas mendalaminya untuk kemudian disampaikan lewat film. Sehingga film tersebut menjadi sebentuk pantulan cerminan masyarakat yang menjadi media kritik, tanpa meninggalkan entertainingnya. Sehingga kita akan rasakan bahwa film India penuh kritik dan propaganda.
Dalam ulasan komparatif, film Laskar Pelangi ataupun Denias dinilai terlalu lurus, tidak senyata problematika yang pernah disinggung oleh Paulo Faire atau Ivan Illich tentang pendidikan. 3 idiots lebih berani menggambarkan kritik dunia pendidikan. Pesan film Indonesia tentang pendidikan seringkali hanya mendorong rakyat untuk meraih pendidikan, namun tidak mengkritisi bagaimana kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya juga seharusnya menjadi sasaran kritiknya.
Saya menangkap, pada akhirnya ‘Aku dan Film India Melawan Dunia’ ingin berdiri bersama dengan orang-orang yang percaya diri menyukai sesuatu yang bahkan ‘direndahkan’ oleh pihak lain. Justru dari sini kita perlu refleksi apakah kita juga terjangkiti snowbisme atau inferiority complex apa tidak. Sehingga, tidak memiliki keberanian untuk mengakui apa yang yang kita sukai, apa pemikiran kita, dan bagaimaan selera film kita. Bahkan, merendahkan orang/kelompok lain hanya untuk meninggikan diri sendiri.
Yaaah sudahlah! Kita tonton filmnya saja, baca bukunya. Sambil bergoyang, mari melawan!
Salam!
Machtumah Malayati
memengku@yahoo.com
*Ditulis sebagai resume diskusi buku “Aku dan Film India Melawan Dunia” di Boenga Ketjil Parimono pada 1 Oktober 2017 pukul 20:27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar