Rabu, 07 Maret 2018

Catatan Pendek Buku Kumpulan Cerpen “Lorong Purnama” Karya Aang Fatihul Islam

Anjrah Lelono Broto *

Berat rasanya untuk tidak menuliskan catatan tentang buku kumpulan cerpen (kumcer) karya Aang Fatihul Islam ini. Rasa berat itu tidak semata karena sederet kesibukan pribadi saya yang kian mengurangi kesempatan saya untuk duduk sejenak di depan alat tulis. Bukan! Bukan semata karena hal itu. Tentu saja, alasan utama mengemukanya rasa berat tersebut adalah “isi” buku kumcer ini sendiri. Tentang kesibukan saya tersebut sangat patut kiranya untuk dipinggirkan mengingat sebenarnya sungguh tak berarti dibanding dengan isi buku kumcer ini yang menggambarkan kebulatan “pencarian” seorang Aang Fatihul Islam.

Adalah sebuah kekagetan stadium tinggi ketika seorang Aang Fatihul Islam yang saya kenal dari esai-esainya tiba-tiba menerbitkan sebuah buku kumcer. Kekagetan saya beranjak surut ketika membaca cerpen-cerpennya karena tema-tema yang dipilih-angkatnya tidak beranjak jauh dari esai-esainya; tentang dunia pendidikan, dunia pesantren, serta kerelijiusitasannya. Surutnya kekagetan saya ini pun menguatkan kesadaran saya bahwa ada sebuah kebersatuan kokoh antara karyanya, kedirian pengarang, lingkungan yang membesarkannya, serta cara pandang pengarang itu sendiri terhadap dirinya dan dunia.
   
Telah pula kita mahfumi bersama bahwa sebuah karya sastra dihasilkan dari pergulatan pengalaman estetik penulisnya. Pengalaman-pengalaman estetik yang diwujudkan ke dalam karya dapat dilihat sebagai ekspresi diri penulisnya. Nah, relijiusitas merupakan salah satu dari sekian ekspresi yang dipilih-tuangkan pengarang ke dalam karya sastra. Atmosuwito (1989:126) mengatakan bahwa sastra juga merupakan bagian dari agama pula. Para sastrawan bukan membuat kehidupan beragama sebagai latar belakang, tetapi sebaliknya lebih menitikberatkan kehidupan beragama untuk pemecahan masalah, dan agama adalah bukan suatu kekuasaan melainkan sebagai alat pendemokrasian. Karya sastra bernuansa relijius bukanlah suatu alat dakwah atau penginjilan. Situmorang (1954) mengatakan bahwa jika untuk penginjilan, sastra itu menjadi sastra yang “dikebiri”. Berkaitan dengan hal itu Mangunwijaya (1988:11) mengatakan bahwa pada awalnya, seluruh karya sastra adalah religius. Pernyataan Mangunwijaya tersebut semakin menegaskan bahwa di dalam sastra terkandung nilai dan norma, serta agama. Kandungan seperti itu muncul karena seorang penulis karya sastra adalah sebagai makhluk sosial yang dilahirkan dari lingkungan tertentu. Pengalaman penulis akan mempengaruhi karya-karya sastra yang dihasilkannya.
   
Seperti halnya kesibukan saya yang harus dipinggirkan, begitu pun dengan polemik lama tentang agama dan sastra di tahun 50-an di atas. Kita tandaskan saja bahwa melalui “Lorong Purnama”, “Uler”, “Menjadi Tuhan”, dll dalam buku kumcer ini seorang Aang Fatihul Islam tidak sedang berdakwah melainkan sedang berbagi pengalaman estetiknya betapa dirinya terkesan dengan adanya ustadz yang suka mengafir-ngafirkan saudara seagama dalam “Menjadi Tuhan”. Seorang Aang Fatihul Islam tidak sedang bertaushiah, namun sedang berbagi pengalaman estetiknya tentang terkesannya dia terhadap kitab wali maupun sang purnama itu sendiri yang digambarkan melalui tokoh Kamal juga Hazim.
   
Mengingat, ketika sastra itu sendiri menjadi alat (baca; tunggangan), baik itu alat dakwah maupun propaganda, maka dengan sendirinya maka sastra itu akan terkebiri, kehilangan kekuatannya untuk menghadirkan keindahan dan kebermaknaan di benak batin pembacanya. Pelajaran dari Buya Hamka yang bisa memisahkan kapan beliau menulis tafsir Al Quran dan kapan menulis “Di Bawah Lindungan Ka’bah” patut kita teladani. Sementara, ketika AS Darta alias Yogaswara alias Klara Akustia menulis naskah drama “Tuhan Telah Mati” tak lebih baik dari Pramoedya Ananta Toer dengan “Arok Dedes”nya, dll.
   
Seorang Aang Fatihul Islam sendiri mengakui bahwa buku kumcer ini adalah pencariannya dalam menemukan keindahan dalam berkarya, terutama dalam berkehidupan. Dalam pencarian itu menemukan yang “ayu” dan atau menemukan yang “asu”, nikmati sajalah. Karena kita patut bersyukur dalam pencarian kehidupan kita masing-masing, kita dapat diberikan kesempatan untuk dipertemukan dengan karya-karya cerpen relijius beserta pengarangnya, mengingat tak semua saudara kita diberikan kesempatan tersebut.
   
Selamat menikmati pencarian seorang Aang Fatihul Islam di lorong-lorong purnama.
***

Mojokerto, Juli 2017
*) Penulis, pemateri Workshop Penulisan Cerpen Mojokerto 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar