Anjrah Lelono Broto *
Menikmati produk seni pertunjukkan, sejatinya, merupakan kegiatan bersifat reseptif; penerimaan pesan-pesan yang disampaikan melalui bahasa lisan, audio-visual, serta berlangsung dalam momentum tertentu. Namun, produk seni pertunjukkan yang berikut ini tidak akan menggunakan piranti auditif untuk menyampaikan isi, bahkan sampiran, yang terperam di rahimnya. Adalah produk seni pertunjukkan Ludruk dan Sajak yang kali ini terpintal-tertenun-terjahit dalam selembar buku yang berjudul “LUDRUK KEDUA”. Adalah seorang Dadang Ari Murtono pulalah yang menjadi aktor intelektual di balik peristiwa kreatif tersebut. Tentang Ludruk itu sendiri, tentang Dadang Ari Murtono yang masih betah menyendiri, tentu akan berpanjang lebar pula dalam tulisan tersendiri. Di kali kesempatan ini, biarlah buku “LUDRUK KEDUA, Sepilihan Sajak” sendiri yang kita perbincangkan.
Dalam pembacaan saya, buku LUDRUK KEDUA merupakan fenomena aneh namun nyata. Keanehan pertama terkait dengan ide utama buku ini yang berisikan tentang Ludruk, sebagai sebuah genre seni pertunjukkan tradisi, berikut sejarah, lakon-lakonnya, hingga realitasnya kini yang dihatur-bacakan dalam sepilihan sajak hingga jumlahnya mencapai angka puluhan. Sedang keanehan yang kedua adalah tema Ludruk ini tidak ditulis oleh pelaku, pemerhati, dan atau birokrat kesenian yang konon paling depan menjadi garda depan pembinaan kesenian tradisi. Tentang kenyataan yang mencuat usai keanehan-keanehan di atas, pertama adalah kenyataan bahwa buku ini hadir apa adanya di tengah-tengah publik Jawa Timur. Sedangkan kenyataan keduanya adalah, seorang penulis muda bernama Dadang Ari Murtono yang notabene bukanlah pelaku, pemerhati, dan atau birokrat kesenian tradisi adalah penulis buku “LUDRUK KEDUA” ini.
Sejarah Ludruk dengan ‘Lerok”nya, ‘Petasan’nya, serta kedekatannya dengan publik yang melahirkannya serta penikmatnya mencair dalam rima-irama sajak-sajak dalam buku ini. Seorang Dadang Ari Murtono juga tak bisa begitu saja menyembunyikan kepiawaiannya menulis saat memilih-memilin diksi sajak-sajaknya untuk berkisah tentang lakon-lakon Ludruk, berikut tokoh-tokoh di dalamnya, pelakunya, serta konflik ikutannya. Joko Sambang, Joko Kendil, Sawunggaling, Dewi Sangkrah, hingga Travesti, Cak Durasim, juga Cak Markeso menghablur dalam sajak-sajak di buku ini. Tentu saja, satu hal yang paling patut diapresiasi dalam sajak-sajak di buku “LUDRUK KEDUA” ini adalah ketidakluputannya seorang Dadang Ari Murtono untuk juga mengisahkan potret buram seni pertunjukkan tradisi Ludruk dewasa ini yang jauh dari publik.
Jatuhnya pilihan seorang Dadang Ari Murtono kepada sajak sebagai media penyampaian kegelisahannya pada fenomena Ludruk tentu akan menjadi panjang jika kita korek dari jantung-aorta penulis flamboyan yang merupakan aset Kota Mojokerto ini. Jatuhnya pilihan tersebut, bagi saya pribadi, merupakan hasil kontemplasi yang luar biasa. Dari sajak “Dunia yang Dilupakan” hingga sajak “Menonton Ludruk dari Balik Jendela Sewaktu Gerimis”, saya tidak menemukan sepenggal pun antawecana yang menjadi ciri khas tokoh-tokoh dalam cerita Ludruk. Bahkan, hanya secuil diksi “Dancuk” yang hadir di antara puluhan sajak dalam buku “LUDRUK KEDUA” ini. Bisa dibilang, meski sajak-sajak dalam buku ini mengangkat tema kesenian tradisi namun sepi dari penggunaan bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa arek yang selama ini digunakan sebagai media dalam seni pertunjukkan Ludruk. Hal inilah yang membuat saya ‘berani’ menyimpulkan bahwa ada kontemplasi yang luar biasa seorang Dadang Ari Murtono sebelum mengisahkan Ludruk dalam sajak-sajaknya di buku ini. Dirinya sanggup bersetia sebagai orang kedua, orang di luar panggung Ludruk, (sebagaimana pengakuannya di Kata Pengantar) hingga penulisan sajaknya yang terakhir di buku ini.
Saya sendiri masih ragu, apakah harus berharap seorang Dadang Ari Murtono akan melahirkan Ludruk ketiga, keempat, dst atau berharap dirinya akan melahirkan Ludruk pertama. Di tengah keraguan saya, saya sedang melihat Ryonosuke Akutagawa di kepalanya.
- CUTHEL -
*) teman CEO Boenga Ketjil
Label
A. Fatoni
Aang Fatihul Islam
Abu Wafa
Aditya Ardi N
Agus Sulton
Ahmad Anshori
Ahmad Saifullah
Akhmad Fatoni
Akhmad Sofyan Hadi
Andy Sri Wahyudi
Anjrah Lelono Broto
Anom Hamdani
Arief Wibisono
Arifin Ipien
Bahrul Ulum A. Malik
Binhad Nurrohmat
Cak Cax Ndhi Anggorokasih
Cak Kephix
Cak Kephix (Andy Setyo Wibowo)
Candra Adikara Irawan
Catatan
Cucuk Espe
Dadang Ari Murtono
Dahlan Kong
Dian Sukarno
Diskusi
Edi AH Iyubenu
Esai
F Rahardi
Fendi Kachonk
Gunoto Saparie
Heri CS
Hilmi Abedillah
Hotel Yusro Jombang
Iman Budhi Santosa
Inswiardi
Inung AS
Irfan Afifi
Jati Utami
JumArt Boenga Ketjil
Kardono Setyorakhmadi
KBS Sukarmadju
Khoshshol Fairuz
Khosol Fairuz
M. Adlan Ali
M. Faizi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Mufid
Mahfud Ikhwan
Malkan Junaidi
Mansur Muh.
Mansur Muhammad
Mashuri
Moch. Faisol
Mufa Rizal
Muhammad Ali Ridho
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Mukadi
Mukani
Nanda Sukmana
Nurdin Ardi Bramono
Nurel Javissyarqi
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
Pelukis Tarmuzie
Puthut EA
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Resensi
Rialita Fithra Asmara (Rialita Sastra)
Robin Al Kautsar
Roso Titi Sarkoro
Sabrank Suparno
SelaSastra Boenga Ketjil
Seni Ngaji Boenga Ketjil
Setia Naka Andrian
Shofie Agung
Suyitno Ethex
Tamrin Bey
Taufan Tohari
Tim Penulis Mahasiswa Unhas Tebuireng
Tjahyono Widarmanto
Warung Boengaketjil
Yusri Fajar
Yustinus Harris
Zaenudin S
Zainuddin Sugendal
Zen Sugendal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar