Muhammad Firdaus Rahmatullah
Beberapa cangkir kopi terhampar di beberapa meja yang tersusun sedemikian rupa dan ada yang diletakkan di semacam dipan seukuran 2x1 meter. Beberapa penganan rebus yang hangat pun terhidang lalu lamat-lamat dingin oleh udara malam di tengah musim kemarau yang tak menentu kemaraunya. Selain itu, beraneka merk rokok mendesak di antara para undangan yang hadir, baik via medium konvensional maupun daring--meski ada satu dua yang tidak merokok. Semua bersepakat bahwa malam itu merupakan malam perjamuan, yang barangkali, agung.
Ada rangkaian cerita dibaca dalam remang lampu halaman. Keheningan berangsur-angsur menyusup dalam pikiran masing-masing dan, tentu saja, malam cerah yang sedikit berbintang. Kekhusukan--jika dapat dikatakan demikian--pun mampu hadir di ruang yang juga merupakan warung kopi itu. Seperti namanya, Boenga Ketjil, ia laksana kembang yang menguarkan aroma sedap-malam kendati tempat itu alit--meski sepenuhnya tidak dapat dikatakan demikian.
Sudah beberapa kali sang pemilik, Andhi Setyo Wibowo alias Cak Kephix, melakukan hajatan serupa, dan tetamu yang hadir pun berganti-ganti, termasuk si "bintang-tamu". Sebagaimana sebuah pertemuan, ia merupakan ajang silaturahmi, saling mengakrabkan diri, bersapa-tegur, berbincang perihal berbagai persoalan, dan tak ayal berdiskusi dan bertukar-tangkap gagasan meski tidak sedikit tidak menghasilkan solusi konkret, terutama soal sastra dan seni.
Kendati demikian, ruang-ruang perjumpaan semacam itu diperlukan untuk menampung-ruapkan persoalan yang bergelayut dalam pikiran dan batin masing-masing. Ia merupakan petak yang tidak terpisahkan dari penyaluran idea dan unek-unek individu ketika berhadapan dengan realitas yang tidak memungkinkan adanya perubahan pola-pikir dan pola-suasana di tempat serupa dan di sudut mana pun, sebab barangkali tengah terlelap dalam onani-gagasan dan onani-suasananya sendiri.
Gagasan-gagasan yang bertebaran itu membutuhkan wadah berbagi dan menumpahkan (kecuali jika memang sengaja dimasturbasikan). Sebagaimana air yang memerlukan penadah agar tak meluber, gagasan-gagasan pun demikian. Bahkan lebih mengalir daripada air.
Dan, konon, kehadiran R Giryadi malam itu seolah menghangatkan malam. Cerpen-cerpen yang dibacakannya dari buku terbarunya, Mengenang Kota Hilang, seperti mengingatkan diri bahwa perjumpaan memang tak mengenal jarak dan waktu. Kendati ada yang hilang dan ada yang tinggal. Perjumpaan, sejatinya, adalah melepas kerinduan akan perjumpaan itu sendiri. Menginsyafi diri sebagai makhluk sosial yang kodrati melalui tatap-muka, tatap-rupa, tatap-suara, tatap-aroma; bukan sekadar bersua lewat media-sosial-online yang kini makin sulit menghadirkan diri untuk berhadap-hadapan sehingga mengaburkan jarak dan ruang pribadi.
Untuk itulah, jika tidak ada ruang-ruang bersastra dan berkesenian, gagasan-gagasan berpikir dan aksi-aksi panggung di ruang-sewa-serbaguna (sebagaimana pergelaran teater beberapa hari lalu) akan menjadi hambar bilamana pemerintah daerah dan dewan sastra atau kesenian--bila memang ada--menggagas ruang semacam gedung kesenian atau ruang dialog mewadahi kreatifitas-kreatifitas tersebut. Kantong-kantong kreatifitas, berkesenian maupun berkebudayaan, menjadi (salah satu) yang terpenting selain gerilya dari warung kopi ke warung lain.
Jika demikian, budaya bertatap-muka dan berdialog secara langsung tanpa tedeng aling-aling kian tergerus oleh dialog virtual ala Facebook, Twitter, Instagram, dan semacam itu, dan interaksi pun sedikit demi sedikit memudar bagai pakaian yang luntur warnanya--meski ruang sosial itu tergantikan dari nyata ke maya. Bukankah erosi kebudayaan juga demikian?
Gejala tersebut barangkali nampak tatkala di tahun 2010-2012 bermunculan kantong-kantong sastra (Jombang) yang tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Mayoritas digagas oleh mahasiswa dan atau alumni perguruan tinggi yang, entah apa maksudnya, berbondong-bondong menunjukkan eksistensi dan keberadaannya. Tentu itu baik. Geliat berkreatifitas (dalam hal ini sastra, jika boleh dikatakan demikian) di Kota Santri menunjukkan bahwa kota ini mempunyai wadah semacam itu (kebetulan dewan kesenian juga terbentuk dan bekerja) dengan pertemuan-pertemuan rutinnya. Bahkan mereka sempat didokumentasikan dalam sebuah buku yang konon lengkap (sebut saja Gubug Liat, Lembah Endhut Ireng, dsb., meski jauh sebelum itu telah lahir LembahPring).
Namun, ya namun, jamur-jamur yang tumbuh hanya mengenal musim, tidak mengenal bahwa medan dan jalan yang mesti dilalui begitu panjang-berliku-terjal. Sampai di situ, hingga beberapa tahun, tiada geliat komunitas-komunitas itu (kecuali di tahun 2013/2014?) sempat muncul Forum Sastra Jombang. Lantas entah kemana. Seakan kerja kreatif hanya bergantung suasana hati (mood) atau kelengangan waktu penggeraknya. Entahlah.
Kini, di tahun 2016, muncul Boenga Ketjil. Ruang dan wadah baru berkonsep warung kopi. Tentu dengan motif dan modus baru. Meski demikian, ada napas segar di tengah kegersangan berdialektika dan bertukar-tangkap gagasan di tengah kemarau kreatifitas. Nama selaSastra bak oksigen yang turut memberi kesegaran dalam keriuhan "Kuning-Kuning" yang dijejalkan di hampir seluruh kota. Adakah yang mampu memberi warna lain? (Kita tunggu saja).
Oh. Barangkali saya nglindur. Dan memang. Niat menghadiri perjamuan itu hanya mimpi. Tetiba istri saya menyangkal krentek agung itu dan mengajak sambang ke karib yang tertimpa musibah di rumah sakit daerah. Bukankah menjenguk orang sakit merupakan salah satu kewajiban? Dan saya mesti melungsurkan keinginan itu meski saya tahu ruang silaturahmi tak cukup di situ.
30 MEI 2016
Label
A. Fatoni
Aang Fatihul Islam
Abu Wafa
Aditya Ardi N
Agus Sulton
Ahmad Anshori
Ahmad Saifullah
Akhmad Fatoni
Akhmad Sofyan Hadi
Andy Sri Wahyudi
Anjrah Lelono Broto
Anom Hamdani
Arief Wibisono
Arifin Ipien
Bahrul Ulum A. Malik
Binhad Nurrohmat
Cak Cax Ndhi Anggorokasih
Cak Kephix
Cak Kephix (Andy Setyo Wibowo)
Candra Adikara Irawan
Catatan
Cucuk Espe
Dadang Ari Murtono
Dahlan Kong
Dian Sukarno
Diskusi
Edi AH Iyubenu
Esai
F Rahardi
Fendi Kachonk
Gunoto Saparie
Heri CS
Hilmi Abedillah
Hotel Yusro Jombang
Iman Budhi Santosa
Inswiardi
Inung AS
Irfan Afifi
Jati Utami
JumArt Boenga Ketjil
Kardono Setyorakhmadi
KBS Sukarmadju
Khoshshol Fairuz
Khosol Fairuz
M. Adlan Ali
M. Faizi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Mufid
Mahfud Ikhwan
Malkan Junaidi
Mansur Muh.
Mansur Muhammad
Mashuri
Moch. Faisol
Mufa Rizal
Muhammad Ali Ridho
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Mukadi
Mukani
Nanda Sukmana
Nurdin Ardi Bramono
Nurel Javissyarqi
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
Pelukis Tarmuzie
Puthut EA
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Resensi
Rialita Fithra Asmara (Rialita Sastra)
Robin Al Kautsar
Roso Titi Sarkoro
Sabrank Suparno
SelaSastra Boenga Ketjil
Seni Ngaji Boenga Ketjil
Setia Naka Andrian
Shofie Agung
Suyitno Ethex
Tamrin Bey
Taufan Tohari
Tim Penulis Mahasiswa Unhas Tebuireng
Tjahyono Widarmanto
Warung Boengaketjil
Yusri Fajar
Yustinus Harris
Zaenudin S
Zainuddin Sugendal
Zen Sugendal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar