(SelaSAstra #1)
Membincang Sastra dan Kesesatan semalam (Selasa 26 Januari 2016) di Warung Boenga Ketjil kediaman Andhi Setyo Wibowo ibarat mengulas Laut dan Gelombang. Presisi batasan yang tepat tidak ditemukan dalam satu ruas, sebab Sastra bersifat benda riel sedang Ke-sesat-an adalah gelembung sifat yang diakibatkan/dihasilkan oleh debur luasnya samudera.
Kaum Agamis berpendapat bahwa Kapitalis dan Sosialis sesat. Bagi sosialis, kaum agamis dan kapitalis sesat, begitu seterusnya. Maka, mana yang ditentukan sebagai kesesatan? Pram dianggap sesat oleh penguasa dan tidak dianggap sesat oleh agamis. Tahun 60 cerpen Langit Makin Mendung karya Panji Kusmin yang menggambarkan Nabi berkacamata, nabi datang ke pelacuran jelas dianggap sesat oleh kaum agamis namun tidak dikategorikan sesat oleh penguasa. Sesat itu sawang sinawang. Sisi lain, ideologi apapun disebarluaskan melalui teks(karya sastra, seni tulis) yang pasti berdampak pada pembaca.
Poin-poin pemikiran itulah yang coba ditawarkan oleh pembicara Binhad Nurrohmat dalam kesempatan tersebut. Ulasan kemudian dihangatkan oleh peserta yang hadir antara lain Agoes Soe, Robin Al Kautsar, Inswiardi Besut, Andri dkk (Ketua DKKM Mojokerto), kawan dari Stibafa, kawan pimred Tebuireng.
Apa batas garis yang jelas sehingga sesuatu itu bisa disebut sesat? Misal seluruh atribut dilepas dulu dari manusia, ideologinya, agamanya, alur politiknya, seluruh bidang profesionalismenya dst dst, tinggal manusia sebagai dirinya: manusia, apakah ada tolak ukur, manusia yang berkelakuan bagaimana dikatakan sesat? Apakah kreatifitas apapun yang berakibat menghancurkan manusia itu sendiri, yang berdampak pemusnahan species manusia itu sendiri, Atau bagaimana? Jika akibat yang ditimbulkan oleh suatu ajaran berakibat memusnahkan manusia dianggap sesat, tetap saja siapapun yang berpergerakan mendamaikan dan melanggengkan spisies manusia di bumi juga dianggap sesat oleh kaum satanik yang berpendapat bahwa jika manusia mencapai milyaran pada akhirnya akan berperang untuk memperebutkan sumber energi. Menurut satanik, bumi ini logisnya hanya dihuni 500 ribu manusia saja supaya nyaman dan terpenuhi. Jalan yang lurus bagi satanik adalah mengembangkan kerusakan di bumi.
Tentu saja banyak pemikiran lain yang terungkap dalam diskusi semalam, salahe kowe sombong, sok keminter, sok tau banyak hal akhire gak gelem teko. Hihihi. Gak Ngunue?
***
Label
A. Fatoni
Aang Fatihul Islam
Abu Wafa
Aditya Ardi N
Agus Sulton
Ahmad Anshori
Ahmad Saifullah
Akhmad Fatoni
Akhmad Sofyan Hadi
Andy Sri Wahyudi
Anjrah Lelono Broto
Anom Hamdani
Arief Wibisono
Arifin Ipien
Bahrul Ulum A. Malik
Binhad Nurrohmat
Cak Cax Ndhi Anggorokasih
Cak Kephix
Cak Kephix (Andy Setyo Wibowo)
Candra Adikara Irawan
Catatan
Cucuk Espe
Dadang Ari Murtono
Dahlan Kong
Dian Sukarno
Diskusi
Edi AH Iyubenu
Esai
F Rahardi
Fendi Kachonk
Gunoto Saparie
Heri CS
Hilmi Abedillah
Hotel Yusro Jombang
Iman Budhi Santosa
Inswiardi
Inung AS
Irfan Afifi
Jati Utami
JumArt Boenga Ketjil
Kardono Setyorakhmadi
KBS Sukarmadju
Khoshshol Fairuz
Khosol Fairuz
M. Adlan Ali
M. Faizi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Mufid
Mahfud Ikhwan
Malkan Junaidi
Mansur Muh.
Mansur Muhammad
Mashuri
Moch. Faisol
Mufa Rizal
Muhammad Ali Ridho
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Mukadi
Mukani
Nanda Sukmana
Nurdin Ardi Bramono
Nurel Javissyarqi
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
Pelukis Tarmuzie
Puthut EA
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Resensi
Rialita Fithra Asmara (Rialita Sastra)
Robin Al Kautsar
Roso Titi Sarkoro
Sabrank Suparno
SelaSastra Boenga Ketjil
Seni Ngaji Boenga Ketjil
Setia Naka Andrian
Shofie Agung
Suyitno Ethex
Tamrin Bey
Taufan Tohari
Tim Penulis Mahasiswa Unhas Tebuireng
Tjahyono Widarmanto
Warung Boengaketjil
Yusri Fajar
Yustinus Harris
Zaenudin S
Zainuddin Sugendal
Zen Sugendal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar