Ahmad Anshori *
“Urusan yang coba kutuntaskan, melalui kekuatan
kata-kata, adalah membuatmu mendengar, membuatmu merasakan—dan yang utama
adalah membuat matamu terbuka. Begitulah, tidak lebih.” – Joseph
Conrad (1857-1924)
Pernyataan
dari salah satu penulis terbaik Britania ini yang barangkali akan sedikit
mewakili apa yang terjadi dalam diskusi budaya Selasatra #14 yang bertajuk
“sastra dan realita sosial” pada Rabu
(15/2/17) malam lalu di warung Boenga Ketjil, Parimono Jombang.
Meskipun
memang sulit awalnya bagi pemula seperti saya untuk mencerna apa yang
didiskusikan saat itu, beruntunglah karena ketiga narasumber diskusi tersebut
(Rakhmat Giryadi, Tjahjono Widarmanto, Nanda Sukmana) adalah sastrawan dan
dramawan luarbiasa yang dimiliki Jawa Timur, sehingga
nasib kami para pemula, diperhatikan. Diskusi hangat yang diikuti sekitar 20
orang itu membahas tentang bagaimana realitas sosial muncul dalam bentuk
ekspresi. Saya baru memahami kekuatan kata-kata dari pembicaraan malam itu,
karena para peserta diskusi sebagian besar adalah para seniman dan pelajar yang
tertarik pada dunia seni. Beberapa poin yang saya rasa penting akan saya catat
disini.
Diawal
diskusi mas Yon mengemukakan tiga aliran puisi yang hadir di Indonesia yakni
Sapardian (merujuk pada nama Sapardi Joko Darmono) yang memiliki kekuatan pada
liriknya,lalu Afrizalian ( merujuk pada puisi-puisi
Afrizal Malna ) yang didominasi metafora gelap dan
mengusung keterasingan (alienasi) dan aliran Rendra dengan lirik-liriknya yang
lugas dan menyuarakan realitas kaum pinggiran. Semua karya sastra pada dasarnya
bersinggungan denga realitas sosial. Hanya karena perbedaan gaya, maka
realitasnya menjadi bias. Oleh karenanya sastra tak ubahnya seperti taman
bunga, ada mawar, tulip, ilalang, bahkan rumput teki.
Ketika
berbicara mengenai sastra, Pak Nanda melihatnya sebagai sebuah kerja saintifik
(yang estetik), karena menurutnya proses peng-karya-an selalu tidak lepas dari
pengamatan terhadap realitas sehingga kerja sastra adalah menciptakan fakta
objektif. Hal ini agaknya berlawanan dengan ide bahwa seni adalah kerja
ekspresi yang simbolik. Para seniman bekerja memproduksi simbol. Namun, seni walaupun
tidak memuat fakta - fakta, sebenarnya juga mengungkapkan kebenaran.
Masalah
yang muncul adalah bahwa situasi kesenian saat ini, yang dulunya dipandang
sebagai ‘tontonan dan tuntunan’ ataupun keindahan yang berguna, saat ini nilai
‘berguna’ itu telah luntur. Apakah terjadi pemisahan antara pendidikan dan
kesenian? Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena meskipun ada anggapan bahwa
seni bukanlah ilmu pengetahuan, seni tetap tidak
bisa meninggalkan logika. Estetika dan pemikiran akan menjadi sebuah ramuan
ekspresi.
Kita
yang saat ini hidup di era post-modern mungkin lupa pada perdebatan di tahun ‘60an
antara kelompok sastra yang menanggung tugas sosial dan sastra pengabdian
estetika. Namun, bisa saja perdebatan itu diam-diam masih terjadi sampai saat
ini. Karena seperti yang diungkapkan Aristoteles, sastra menjadi jalan menuju
kebenaran keempat setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra menjadi
tugas yang begitu berat dilaksanakan.
Politik
pun tak luput dari perbincangan, bahwa karya seni memiliki kekuatan luar biasa
yang ketika dibaca secara masif maka akan menciptakan realitas sosial seperti
yang diinginkan (tentu saja oleh pihak yang berkepentingan). Inilah mengapa di zaman dahulu, para raja memelihara
pujangga di istana. Dan apabila kita jeli, tradisi
ini masih dilakukan dan bahkan efektif sampai saat ini.
Ruang
ini yang kita butuhkan,seperti yang dikatakan Lek Gir ketika
menutup diskusi. Dimana pemikiran-pemikiran estetik bertemu dengan logika
realitas, sehingga logika dan estetika akan melahirkan sebuah penafsiran baru.
Seperti yang diharapkan, bahwa seni tidak menimbulkan kesimpulan, namun
menimbulkan pertanyaan. Lalu apa yang dipertanyakan? Para seniman haruslah melahirkan pertanyaan tentang kebenaran realitas yang
ditemui, atau diziarahi.
*) Mahasiswa KPI ( Komunikasi Penyiaran Islam )
Universitas Hasyim Asy’ari Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar