(Ifada
Initiatives)
Jika boleh mengingat, pertemuan saya dengan
Islam dan Jawa mungkin sejenis pertemuan dengan diri yang menggetarkan. Dan
hingga hari ini saya masih merasakan getaran itu, yang sayangnya bahkan hingga sekarang
ternyata saya masih berada dalam suasana itu.
Di tahun 2007 awal, di sebuah sudut sempit rumah
kontrakan tua berukuran 3x6 m di Kuningan, Sleman, tak seberapa jauh dari UGM, tempat
saya kuliah, saya bertemu orang tua yang biasa saja. Ia, yang bernama, Paryono,
dikenal orang sebagai dukun pijat yang tak laris. Waktu itu, pinggang saya
sedang bermasalah. Saya menemui orang tua yang bahkan masih kesusahan membayar
kontrakan itu memijit saya dengan kesabaran, dan juga kearifan. Ia membenarkan
otot pinggang saya dengan bercerita. Ia, dalam kesan saya waktu itu, malah
sedang ingin menuturi anaknya sendiri. Ia tiba-tiba bercerita, atau tepatnya
memberi wejangan, yang anehnya tidak terkait pinggang saya, melainkan terkait
diri saya.
Semestinya, seturut penuturannya, saya sudah
harus mulai madeg pribadi mengatur
empat teman dalam diri, agar bukan hanya keseimbangan dalam diri terpenuhi,
melainkan agar bertemu dengan “makna’ juga “diri”. Ia menderet teman dalam diri
itu dari teman merah (kanca abang), kuning
(kanca kuning), hitam (kanca ireng), dan putih (kanca putih). “Kamu harus menjadi pancer bagi sedulur-mu yang berjumalah empat dalam dirimu itu,” cecarnya dalam
nada rendah (baca: sedulur papat lima
pancer).
Wejangannya sore itu membuat saya terperangah.
Selain karena menyentil rasa identitas “keJawaan” saya yang memang lama saya gelisahkan,
Ia sebenarnya dengan lebih parah sedang meruntuhkan seluruh, atau setidaknya sebagaian
apa yang saya pelajari secara kukuh di bangku kuliah filsafat UGM. Apa yang
saya dapat dari kampus tua tempat saya kuliah hari itu menampakkan banyak
lubang dan retak, yang hanya sedikit memberi harap ihwal tanya tentang
pergulatan pencarian diri. Ia dalam sebuah gerak ganda sedang mengingatkan di
satu sisi ada banyak pergulatan pemikiran filsafat yang saya pelajari hampir 7
tahun di fakultas Universitas Gadjah Mada itu tak memberi banyak hal yang saya
perlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang saya sedang
gelisahkan, maupun di sisi lain saya mulai tersadar, bahwa kampus yang saya
banggakan itu bahkan tak terlalu memberi “ruang perkuliahan” yang mengajarkan
bangun pandang dunia masyarakat Indonnesia, alias filsafat masyarakat, yakni
masyarakat tempat saya tertanam di dalamnya.
Hari itu, setidaknya seperti lamat-lamat saya
ingat, saya Irfan Afifi, alias orang yang sedang menenggelamkan diri dengan
unggunan diktat, jurnal, makalah, dan buku-buku tua berdebu ihwal pemikiran
filsafat dunia, hingga akhir masa-masa kelulusan saya, sedang tidak mengerti
apa-apa tentang “pemikiran filsafat” masyarakatnya. Ia sedang tidak mengenal
dirinya sendiri.
***
Saya lahir di dusun kecil nan terpencil di Dusun
Tempursari, Desa Tambakboyo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur),
sebuah desa kecil di ujung barat hutan jati Ngawi yang berbatasan dengan
wilayah administratif Jawa tengah, tepat di hamparan sebelah utara Gunung Lawu
yang maha perkasa itu. Konon, menurut cerita tutur masyarakat, yang hingga hari
ini masih diceritakan secara gethok-tular,
Kakek (Buyut) saya adalah orang pertama yang membuka lahan alias babad alas, membangun rumah, menetap,
dan mendirikan masjid dan pesantren di desa tempat bertemunya kali lor (sungai utara) dan kali sangit (sungai berbau sangit),
yakni sebuah wilayah pertemuan (tempur-an)
dua sungai (sari), sebagaimana nama
Tempursari disematkan pada wilayah itu. Ia yang awalnya merupakan hutan,
disulap oleh Kakek menjadi sebuah permukiman yang mengundang banyak orang yang
menetap di sana.
Cerita mitis atau bahkan magis menyelimuti desa
kami. Kakek, yang bernama Sumadita, seperti dituturkan yakni sejak kekalahan
Perang Jawa (1825-1830), dimana ia digambarkan sebagai salah satu temenggung
perang digdaya Pangeran Diponegara, memutuskan berlari ke timur, menjadi santri
Kyai Kasan (Imam) Besari II di Pesantren “Gebang Tinatar” Tegalsari (Ponorogo),
sebuah pesantren tersohor yang kita kenal sebagai tempat pelarian Pakubuwono II
di masa krisis, juga tempat Yasadipura II, maupun pujangga panutup Ronggawarsita menyesap “ngelmu”
dan menerima “wahyu kapujanggan”-nya.
Ia kabarnya, setelah masa cukup nyantrinya, di suruh berjalan ke arah barat dan
tidak diperbolehkan berhenti sebelum bertemu dua pohon kelapa yang terpaut
jarak tertentu di tengah hutan. Dalam perjalanannya Ia “dititipi” anak gadis Sang
Kyai “Tegalsari” itu, yang kelak kita ketahui sebagai istri yang menemani
hidupnya di wilayah baru yang akan ia tinggali. Hingga, syahdan, ia bertemu
pohon kelapa di tengah hutan yang diantara dua wilayah yang berdekatan,
mengikat tunas daun kelapa (janur)
keduanya, dan mengikuti kehendak nasib untuk tinggal dan menetap di tempat ikat
yang membelit janur di salah satu pohon kelapa tersebut terputus setelah
menunggu selang beberapa waktu, seperti saran Kyai Kasan Besari.
Ia, setelah membangun rumah beserta 7 teman
santrinya, mengubah nama menjadi Kasan Istadz (Hasan Istadz), nama yang mungkin
mengingatkan akan nama sang guru, Kasan (Besari). Cerita mistis seputar desa
selalu terpaut diri juga anaknya (Kyai Jahid, bapak yang melahirkan ibu saya).
Mbah Kasan Istadz misalnya sering dikatakan mempunyai “kendaraan” kesayangan
berwujud “harimau” (Macan), yang hingga masa belakang, setidaknya hingga
pernikahan kakak perempuan saya yang terakhir (tahun 90-an akhir), masih
menampakkan diri pada Ibu saya. Dulu banyak saudara bercerita, Jika saudara dan
masyarakat melihat macan simbah keluar dari balik hutan desa kami yang masih
berdekatan, mereka memberi tahu tetangga, “macan
simbah teka! “Harimau simbah
datang!”, segera buru-buru mereka memberi sesajen.
Atau cerita pembuatan bedug masjid, yang hingga
hari ini masih utuh dan melegenda. Masyarakat yang telah berhari-hari memotong
pohon sebesar dua tangkupan rentangan pelukan panjang tangan orang dewasa di
hutan yang berdekatan, yakni untuk keperluan bedug, terpaksa menyerah. Dalam
satu hari, tebasan golok dan kapak ternyata baru bisa melobangi batang pohon
tersebut hingga setengah. Namun, saat para penebang kembali keesokan harinya, tebasan
di pangkal pohon itu kembali utuh lagi. Mereka menebas lagi, pohon utuh
kembali. Begitu, hingga beberapa waktu. Akhirnya mereka mengeluh pada Kyai
Jahid. Sang Kyai mendatangi pohon. Ia akhirnya bersepakat dengan jim penunggu pohon agar pohon berkenan
ditebang dan dijadikan bedug di masjid desa, tempat kami tepatnya saya
menghabiskan masa kecil hingga menginjak dewasa, yakni dengan syarat: para jin
itu turut menunggu bedug dan masjid. Konon, setelah pohon tumbang, tongkat
kakek-lah yang menjadi pengungkit yang menggelindingkan potongan pohon itu
hingga ke depan masjid.
Saya nyaris menghabiskan masa ngaji madrasah dan pesantren, maupun pergaulan
hidup hingga menginjak dewasa di desa ini, yang dikenal sebagai dusun santri
oleh beberapa desa tetangga. Di desa ini pula, yang terkait desa-desa tetangga
yang berdekatan, saya melewatkan masa kecil tidur di sebuah langgar kecil,
mengaji di rumah kecil Kyai, atau menonton wayang, jaranan, dan reog di desa
seberang sungai sebelah utara rumah. Sebuah masa, pesantren kakek masih
berjalan dengan sederhana, dimana banyak orang datang dari beberapa desa ngenger di rumah sang kyai ataupun rumah
tetangga yang lain, kemudian di waktu subuh atau sore hari pergi ke rumah sang
Kyai, men-sorog-kan (baca: sorogan)
satu kitab kuning tertentu, atau
berpindah pada rumah generasi kyai baru yang mulai bermunculan untuk mengaji kitab lain sesuai bidang keilmuan yang
dikuasai oleh kyai-kyai bersangkutan.
Masa dimana pesantren dalam pengertian luasnya
belum memungut biaya apapun yang mempunyai gedung megah yang tertata secara
administrative maupun pengajaran. Sebuah masa orang-orang miskin yang
berdatangan dari beberapa desa lain merayakan “berkat” nasi-penganan dari acara
megengan, ruwahan, tingkeban (mitoni),
sepasaran, syuroan, manaqiban, kenduri, berjanjen, rebo wekasan, bada kupat, khataman, sunatan, malam tirakatan di malam ganjil saat
puasa, hingga bancakan di hari raya
idul fitri maupun idul adha, benar-benar masih bisa membantu para santri lelana maupun mukim menyumpal perut mereka yang
keroncongan.
Islam yang menjadi identitas dan membentuk diri
saya benar-benar—dengan menyisihkan pelajaran Quran madrasah dan pengajaran
kitab kuning yang saya pelajari dari rumah antar kyai, maupun belakangan pengajaran
dari sebuah pesantren seorang menantu “keluarga besar” yang berhasil menempati
petak luas pesantren yang terpusat di pinggir desa—sungguh hadir dalam bingkai
tradisinya. Islam yang saya kenal dan hayati, tak lain adalah tradisi itu
sendiri, atau minimal hadir dalam bingkai tradisi desa kami. Dan saya tak
mengenal dari yang lain. Dulu, saat saya sudah mulai mengenal bacaan beberapa
pemikir intelektual muslim dan sedikit bisa memahaminya, mereka menyebutnya
“Islam yang manifest”, alias islam yang telah bersenyawa dengan tradisi. Islam
yang tidak lagi mengawang pada ajaran yang tak tersentuh, melainkan Islam yang
telah terinstitusikan secara subtil dalam tradisi. Oleh karenanya ia nyaris tak
memilah-milah lagi agama vis avis budaya. Islam yang tak mungkin dikenali lagi
dari sudut lain kejawaan, yang memang pelan-pelan membentuk diri dan cara
pandang dunia saya. Setelah meninggalkan desa, saya bahkan sering berimaji dan
mengidealkan tentang sebuah masa indah dan “damai” dimana islam selalu berarti
rahmat karena memang telah menjadi bagian praktik sehari-hari yang santun, dan
sayangnya saya selalu saja kembali mengingat desa tempat saya lahir.
***
Mungkin hidup tersusun dari perpisahan dan
pertemuan yang kadang menyesakkan. Pada tahun 2000, masa untuk kali pertama
saya meninggalkan desa dan memutuskan kuliah dan mengakrabi bangunan tua
filsafat di bilangan kampus Bulaksumur (UGM). Masa-masa perkuliahan saya
benar-benar saya lewati dengan getir. Ada banyak pertemuan asing sekaligus
melabarak dan menggungat pemahaman dan diri. Saya memasuki sebuah universum,
kategori dan pemahaman lama terkait identitas dan keagamaan tak lagi bisa
menampung spectrum “dunia baru” yang mulai mau tak mau harus saya akrabi. Saya
mulai bertemu dengan Islam yang berbeda, yang kadang-kadang kasar dan
menyerang. Saya juga mulai bertemu gagasan para pemikir dunia, yang mengajarkan
cara memandang dunia dan hidup secara bahkan “nir-tuhan” dan “nir-agama”.
Identitas yang sebelumnya membantu saya melihat dunia tiba-tiba menjadi oleng,
dan bahkan di masa pertengahan kuliah, saya sempat ambruk. Seluruh batu-bata
yang menyangga rumah “diri” saya runtuh. Saya tersuruk.
Saya lamat-lamat ingat, di sebuah siang di bulan
puasa yang kelabu, tepatnya di depan musola fakultas, saya orang yang sedang
linglung itu secara “demonstratif’ merokok dengan berjalan diantara hilir mudik
orang yang sedang mengantri solat. Di Setiap diskusi yang saya hadiri, saya
selalu menyerang kecenderungan mengungkung baik terkait diskursus pemikiran
keilmuan, maupun agama. Saya bahkan masih ingat, beberapa teman menjuluki saya
sebagai “bulldozer” yang siap menabrak dan meratakan setiap pemikiran kaku,
apalagi itu terkait pemikiran dan laku beragama yang jumud. Sebuah masa getir
dimana preskripsi norma agama dan tradisi telah saya tanggalkan, unggunan
diskursus maupun ajarannya tak lagi bisa membantu apa-apa, dan yang tersisa
tinggal sosok Ibu. Saya takut membuatnya terluka.
Di sudut lusuh petak sempit sebuah kontrakan di
Karang Malang (dekat UNY), saya tidur dengan tumpukan buku-buku, yang saya
andaikan bisa mengganti “pengangan” saya di saat tersuruk. Tumpukan buku-buku
babon filsafat, pemikiran Islam, sejarah, sosiologi, antropologi, ataupun bahkan
buku sastra yang sedikit menenangkan, ternyata tak terlalu membantu. Atau
setidaknya saya pernah menyibukkan diri dengan belajar menulis di sebuah
lembaga pers kampus Balairung di komplek b21, Bulaksumur, untuk mengatasi keruwetan
dan kegelisahan saya. Ihwal diskursus keagamaan, dengan rakus saya
mengais-ngais “pegangan” dari Nur Cholis Madjid, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat,
Haidar Bagir, Ulil Absor Abdala, hingga tokoh pemikir Islam dunia Muhammad
Iqbal, Fazlur Rahman, Naqib Al Attas, Seyyed Hossein Nasr, Jabiri, Arqoun,
Syar’ati, Asghar Ali, Khalil, Adonis, serta para pemikir orientalis ternama,
seperti H.R. Gibb, Montgomery Watt, Ignaz Golziher, Esposito, Hodgson, dll.
Para pemikir Islam ini, yang tak mungkin saya deret semua, sedikit membantu
menyusun batu-bata awal pemikiran Islam, menata term-term kunci Islam dengan
pengertian barunya, yang dulu sempat menyangga diri, yang mulai membentuk corak
ke-Islam-an saya yang mulai terbarukan.
Namun, hingga saya merampungkan skripsi saya di
filsafat, ternyata ini baru setengah cerita, atau malah sepertiga cerita. Diri
saya tetap growong dan bolong di
sana-sini. Saya (masih) gelisah. Saya coba mengatasinya dengan memulai
menyentuh khasanah tradisi filsafat Islam, juga mistisisme Islam (sufisme) yang
dulu saat kuliah, hanya saya baca sepintas lalu. Buku-buku tokoh perennial
macam Chittiks, Martin Link, Arberry, Hossein Nasr, Houston Smith, Reynold
Nickolson, Karen Armstrong, Firtchof Schuon, Annimerie Schimmel, dll saya lahab
dengan rakus. Bahasa arab saya yang pas-pasan, sisa pelajaran ngaji saya dulu,
maupun ingatan lamat masa pendek dua tahun setengah kuliah di Sastra Arab UIN
Sunan Kalijaga (saat bersamaan jadwal kuliah di Gadjah Mada) yang akhirnya tak
rampung, sedikit membantu saya mengurai teks-teks filsafat Islam, maupun
sejumput kitab tasawuf yang bisa saya
raih.
Di masa awal pernikahan saya, sejauh saya ingat,
saya memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai redaktur di sebuah media online.
Yang menggelisahkan saya bukan uang, meski sumber keuangan kami semakin menipis.
Saya mengajak tinggal istri, sosok yang mungkin tak pernah benar-benar mengerti
apa yang digelisahkan suaminya, di sebuah kontrakan kecil yang berbagi dengan
pemilik kos di pinggir desa Mlangi, agar saya bisa ngaji di waktu subuh dan
malam di pesantren lagi. Istri saya yang baru saya kelar dari S2 nya, alias
juga belum punya pekerjaan, harus menatap dengan murung pasangannya yang tak
sama sekali gelisah dengan uang, dan hanya mengerjakan orderan editing di siang hari, yakni dengan upah
yang tak seberapa. Ia, sang istri yang kelewat sabar, bahkan rela menjalani
berjualan “bakpia” satu tampar, hanya untuk menyambung hidup. Kadang jika saya
teringat masa-masa pahit itu saya menitikkan air mata. Saya ingin meminta maaf
untuk kesekian kalinya.
Saya menjalani pergulatan dan masa ngaji di
Mlangi sekira 2 tahun. Hasil permenungan saya di sebuah desa tempat masjid pathok Negara sebelah barat itu,
menelurkan beberapa kelebatan gagasan samar bahwa agama pada akhirnya,
setidaknya bagi saya hingga hari itu, adalah sebentuk disiplin amaliah tertentu,
yang wawasaannya tidak berasal spekulasi abstrak, namun sebuah latihan ruhaniah
(spiritual) dan gaya hidup etis berdedikasi. Karena, tanpa amalan seperti itu,
saya rasa, mustahil untuk memahami ajarannya. Mungkin ini mirip seperti
“berenang”, kita tidak bisa mempelajarinya dari konsep abstrak tertentu,
melainkan kita harus segera menceburkan diri dalam kolam atau air, dan
memperoleh ketangkasan tertentu melalui latihan yang berdedikasi.
Di masa itu saya benar-benar terbenam dalam penghayatan.
Saya mulai menyadari saya harus mulai mengenali diri saya sediri (baca: man arofa…). Mengenali saya ini siapa,
dari mana, dan hendak kemana. Saya menemui faktisitas diri: Saya orang Jawa
yang bergama Islam itu harus rela menerima kemestian bahwa saya “terpaksa”
lahir di sebuah dusun di Jawa, yang dengan seluruh perangkat tradisi, budaya,
dan praktik keseharian yang membentuk diri, berusaha memandang dan memberi
makna hidup, bahkan terhadap ajaran agamanya. Pencarian itu berujung: Saya
Jawa, saya Islam. Sejak itu, saya seperti baru memulai sebuah perjalanan. Tumpukan
dokumen dan buku-buku penelitian antropologis, sosiologis, bahkan filosofis
terkait Jawa dan Islam di Indonesia, baik karya-karya orientalis Barat maupun
Sarjana dalam negeri, benar-benar semakin merecoki dan meyesaki kenyamanan
ruang sempit kamar saya dan terutama istri yang dirundung sesak karena tak
segera mendapat sumber penghidupan yang wajar.
***
Di sebuah malam pekat di pertengahan tahun 2014,
setelah pergulatan panjang dengan kajian tentang Jawa, saya benar-benar
tersentak saat membaca desertasi
Harun Hadiwiyono, “Man in The Present Javanese Mysticism”(1967), yang sering
menjadi rujukan penting dalam menilai Islam Jawa di jantung pandangan dunianya yang
menjadi identitas penyatu masyarakat Jawa itu, bahwa Islam hanya merupakan
“lapisan tipis” yang menyelimuti masyarakat Jawa secara keseluruhan. Ia bahkan
dengan mendinamisir aspek-aspek pinggiran yang tak terlalu penting—yang memang
terdapat di dalam kebudayaan ini—untuk meneguhkan apriori dugaan awalnya bahwa
Islam memang merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Jawa. Ia adalah Islam
yang telah tercampur. Sayangnya, Harun Hadiwiyono tak sendiri. Ada deretan
orientalis yang berkata yang kurang lebih sama. Karya-karya Mulder, Geertz,
Zoetmoelder, Snouck Hurgronje, Pigeaud, G.W.J Drewes, D.A. Rinkes, Pijper, De
Graff, Zoet Mulder, hingga Geertz nyaris hanya berkata hal sama,
atau setidaknya memberi label Islam di pulau ini sebagai “Islam
Sinkretis”, dengan seluruh kandungan peyoratif yang dikandungnya, yakni sebuah
agama yang diterima secara enggan, yang kemudian dengan rasa frustasi yang akut
mencampur-campurnya dalam sebuah adukan yang tak jelas bentuknya.
Cerita belum benar-benar rampung. Saya berusaha mencari
penjelasan lain, tentu sudut “rasa” ke-Islam-an saya. Saya membaca pemikir
muslim seperti Hamka “Perkembangan Kebatinan dan Jawa” maupun Rasyidi
“Kebatinan dan Islam” dengan acuan refrensi penting kitab babon Islam Jawa
seperti Chentini, Serat Wirid Hidayat Djati, atau Juga
Simuh “ Islam Mistis Ranggawarsita”. Dua tokoh yang saya sebut di awal nyaris
hanya mengafirmasi apa yang dikatakan Hadiwiyono. Bahkan sebuah “pasase” yang
menyakitkan Hamka menyebut Islam Jawa berada di dalam kondisi bagalu putu, alias samar, tak jelas, dan
campur aduk. Atau Serat wirid Hidayat
jati yang dikatakan oleh pengarangnya Ranggawarsita hanya menyarikan ajaran
para wali tanah Jawi, ditangani oleh Rasyidi—seorang doctor dari Paris yang
mengcurahkan tenaganya mendalami Centhini
untuk desertasinya dan pernah menjadi menteri agama Indonesia itu—dengan sangat
menyayat menempatkan “wirid” sebagai ajaran sufisme Jawa yang bertentangan
dengan Ajaran Islam.
Saya benar-benar tersuruk untuk kedua kalinya. Identitas
yang membentuk saya, Jawa dan Islam, saat ini ada dalam posisi yang saling
menegasikan. Islam versus Jawa dalam relasi yang saling hadap-perhadap. Ada
perselisihan, atau tepatnya pertentangan yang benar-benar menggoncang diri.
Dengan sisa energi yang hampir habis, saya lamat-lamat semakin mengerti bahwa
ada sebuah narasi besar Kolonialisme, yang sejak lama tertimbun dan membentuk frame melihat ke-Islam-an kita—yang
sayangnya hingga hari terus-menerus menjadi narasi besar para sarjana maupun
akademisi kita—yang naras-narasi lanjutan yang telah didedah sebelumnya hanya
merupakan catatan kaki dari sebuah frame yang dibentuk di awal colonial yang
hari ini masih kita imani secara kukuh.
Dalam penelurusan yang melehkan, saya jadi tahu, bahwa untuk
pertama seorang Raffles dengan “History
of Java” (1817)-nya atau John Crawfurd dengan “History of Indian Archipelego”(1820)-nya di awal abad 19
benar-benar telah memberi strukturasi yang padu dan fixed terkait defenisi “Islam Jawa” yang bertahan yang menjadi
“cetak biru” ihwal bagaimana seharusnya “Islam Jawa” didefinisikan. Dan
belakangan saya tahu, rumusan defenisi itu akan menjadi kerangka yang akan
diajarkan dan terus-menerus dan diulang oleh para pejabat dan pegawai sipil Belanda
di awal pendidikannya sebelum bertugas di Hindia Belanda.
Kesimpulan karya “History of Indian Archipelego”-nya
Crawfurd maupun “History of Java”-nya Raffles, sebagai sebuah karya
ensiklopedis pertama yang mengumpulkan seluruh informasi terkait seluruh
hal-ihwal penduduk di pulau ini benar-benar akan memberi “aksioma” makna dan
affirmasi akan “agama Jawa” yang dijadikan acuan para Javanologi Belanda hingga
beberapa abad setelahnya. Atau malah, dugaan saya, masih akan bertahan hingga
hari ini. Islam Jawa menurut Raffles dalam catatan “History”-nya—yang hanya
diberi porsi pembahasan sekitar 13 halaman sisa dari 65 terkait agama kuno Jawa
itu—adalah katanya sejenis supervisial muslim
alias “muslim hanya pada permukaan”. Bahkan lebih lanjut Menurut Crawfurd,
Islamnya orang Jawa adalah sejenis modified
Islam, a mixture of native customs with Islamic dan Hindu laws.
Saya juga mulai tahu, bahwa Raffles lah orang yang
menghidupkan kembali Het Bataviaash
Genoothschap voor en Wtenschappern (Batavian Society) atau sering dikenal
dengan Royal Batavian Society Art and
Science, yakni sebuah lembaga dan Society bentukan Belanda yang pertama
kali pernah ada di Asia—bahkan mendahului Royal Asiatic Society bikinan
Inggris. Ia adalah orientalis pertama dengan niat intensi akademiknya
mengarahkan kajian Society yang sebelumnya
di masa VOC hanya melulu terkait geografi, teknologi, agrikultur, sejarah alam,
etnologi, kesehatan tropis, serta sedikit tentang sejarah dan sastra, bergeser serta
memberi porsi lebih pada kajian “sastra” dan “agama”.
Sejak Raffles mengambil alih lembaga ini, kajian tentang
deskripsi etnografis dan agama Jawa meningkat dratis. Memang sebelum tahun
1800, sudah ada beberapa orientalis Belanda yang tertarik dengan kajian sastra
Jawa. Tapi hanya di masa Raffless dan Crawfurd lah yang menandai tinggal landas
menuju studi saintifik akan bahasa dan sastra Jawa. Kita tahu, sejak tinggal di
Yogyakarta, Crawfurd belajar dengan intensif bahasa dan sastra Jawa dan
berteman aktif dengan para bangsawan istana Keraton Yogyakarta. Ia juga sempat
belajar bahasa dan sastra Melayu di Penang, sebelum berlabuh di Jawa.
Narasi atas agama Jawa ini (Islam
Jawa) terkait dua karya monumental yang disebut sebelumnya, dimana Crawfurd
menyebut masyarakat Jawa memiliki cacat “kapabilitas mental” untuk memahami atau
menjangkau ide-ide abstrak Islam—di kemudian hari, direprodusir berulang-ulang
di sekolah dan universitas tempat pendidikan calon pegawai sipil dan militer
Belanda, maupun para akademisi Belanda sebelum masa tugas mereka di Hindia
Belanda. Doktrin tentang “agama Jawa” sebagai supervisial muslim inilah yang kemudian memberi strukturasi pada
pengalaman para pejabat Hindia Belanda di tanah Jajahan.
Saya oleh karenaya bisa sedikit maklum, bagaimana
orang-orang seperti Roorda van Eisinga (1819-1830 M), seorang sarjana dengan
pengetahuan ekstensif paling terkemuka di masanya tentang Jawa, Melayu, Arab,
dalam sebuah ceramahnya di tahun tertentu pada calon-calon pejabat colonial yang
akan berangkat ke Hindia Belanda masih mengulang proposisi yang sama seperti
dikatakan Raffless dan Crawfurd. Atau juga Johannes Oliver, seorang kepala
sekolah pemerintah untuk calon pejabat colonial menulis dalam jurnal “De Osterling” di setengah awal abad 19
mengatakan: Islamnya orang Jawa adalah mixed
with Hindu concept atau dalam istilah lain restricted to behavior. Saya mungkin kali ini benar-benar mulai
kehabisan tenaga. Bagaimana saya menjelaskan ini? Bagaimana saya menjelaskan
dua identitas yang membentuk diri saya, Islam dan Jawa saling bertabarakan dan
saling mengasikan? Bagaimana saya menjelaskan “kegagalan para wali” katakanlah
begitu, yang bahkan makam dan petilasannya itu saya begitu kagumi?
***
Saya mungkin orang yang akan ambruk untuk ketiga kalinya,
hingga suatu siang yang sedikit mendung di sebuah Kampus di Kota Malang saya
menemukan dua tulisan Nancy K. Florida, yakni “Writing Tradition in Colonial Java: The Question of Islam” (1997)
dan “Reading Unread in Traditional
Javanese Literature” (1987), juga karya yang mendukung lain seperti Michael
Laffans, “The Making Indonesian Islam”
(2011). Saya mulai sedikit menyadari ada sebuah peta besar yang ingin
didesakkan dari sejak masa formatif diskursus colonial dalam menjinakkan
masyarakat Jawa untuk kelanggengan dominasi kekuasaannya, politik amupun
ekonomi, di tanah Jajahan.
Sejak kekalahan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh
seorang pangeran Jawa bergelar Pangeran
Dipanegara yang didukung oleh jaringan tokoh-tokoh pesantren dan Islam pedesaan
(kyai), dimana 200.000 orang jawa dan 15.000 pihak Belanda (7000 di antaranya
adalah orang “Indonesia”) meninggal—seperti diceritakan Peter Carey, penguasa
Belanda benar-benar ditunjuki sebuah pengalaman traumatic kolektif dan
pengingat kontemporer, yakni sebuah “kemarahan” yang bisa diuntapkan oleh masyarakat pribumi
ketika dimobilisasi oleh elit-elit mereka di bawah “panji Islam”.
“Islam pribumi” di mata colonial merupakan hantu yang
meneror dan merupakan “ancaman potensial” atas keberlangsungan dominasi
kekuasaan politik-ekonomi Belanda, dan oleh karenanya “mata kolonial” Belanda tak
mau melihat ketunggalan Jawa dan Islam ini atau mereka dengan usaha keras ingin
menyangkalnya. Mengutip kalimat Nancy Florida,
“Oleh
karenanya pertahanan konvensional para penjajah adalah dengan menolak, dan itu
berarti dengan menyangkal dan mengalihkan realitas pengakuan agama Islam yang
keluar dari mulut dan tindakan orang-orang Jawa yang mengimaninya tersebut.
Meskipun orang-orang Jawa menyakini diri mereka sebagai muslim dan meskipun
praktik-praktik lahiriah dan publik mereka tampak membenarkan ‘pengakuan iman
mereka’, kekuasaan penjajah berharap bisa menyangkal kebenaran yang tampak
tersebut.”
Saya akhirnya, dari pembacaan ini, bisa sedikit mengerti dan
memberi konteks pemaknaan ihwal deretan pemberontakan baik yang dilakukan
Surapati, Trunojoyo, maupun peristiwa pembunuhan berdarah serta penyunatan
massal (baca: Sunat, Jawa: selam/islam)
tentara Belanda saat terbunuhnya Kapten Tack. Islam dengan gradasi
penghayatannya, sebenarnya telah menjadi identitas penyatu masyarakat Jawa, yang
oleh karenya dengan bersamaan secara natural menegasi dan menempatkan
“penjajah” Belanda di ruang seberang dengan sebutan “landa kapir”. Sehingga jika ada “kemesraan tertentu” yang
dipertontonkan oleh kekuasaan Mataram yang mengarah pada ketertundukan ontonomi
kekuasaan, momentum pemberontakan Jawa hanya perlu menunggu pecahnya. Dan kita
tahu, puncak dari sentiment “kapir landa”
(Kafir Belanda) berkulminasi pada prang
sabil Diponegara.
Setelah perang besar itu, menurut catatan Sunyoto, yakni
sekira 1880-an ke atas hampir terjadi ratusan pemberontakan kecil—yang telah
kehilangan sosok pimpinan pangeran (Keraton) yang telah tunduk—yang didorong
semangat ke-Islaman tarekat, seperti yang salah satunya yang diteliti oleh
Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of
Banten in 1888” yang masyhur itu. Identitas Islam di masa itu saya kira
benar-benar tak bisa dibedakan dengan keberadaan sentimen suku-bangsa yang dalam
spectrum tertentu terjadi pada sebagian suku-bangsa lain di Nusantara, baik pada
masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, Lombok, dll. Bahkan orang Tengger yang oleh
para pengkaji Jawa sering disebut sebagai pusat pelarian terakhir orang Hindu
Majapahit, jika ditanya apa agamanya, konon (?) pernah menjawab: “agama selam”.
Keengganan “mata kolonial” untuk melihat Islam Pribumi dan
usaha keras untuk menyangkalnya di kemudian hari, ditandai oleh munculnya
sebuah disiplin yang belakangan hari kita kenal dengan nama studi “Javanologi”,
yakni persis setelah berakhirnya perang Jawa—dimana kekuasaan Jawa benar-benar
secara factual berada dalam sistem Penjajahan.
Sebagai sebuah displin baru, Javanologi berusaha secara keras
“menyangkal” fakta keber-Islam-an pribumi yang dianggap “asing”,
“revolusioner”, “tidak jinak” dan “tidak Jawa”, dan dengan serentak mengembangkan
penelitian arkeologis dan filologis yang menciptakan sebuah imaji kejawaan
‘jinak’ yang terpaut masa lalu Jawa yang jauh di masa Hindu-Budha zaman pra-Islam
Majapahit .
Ringkasnya, Belanda dengan disiplin Javanologi-nya, yakni
dengan membentuk Institut Budaya dan Bahasa Jawa (Het Instituut voor de Javaansche Taal) di tahun1832 yang didirikan
di Surakarta —lembaga yang akan menjadi cikal bakal lembaga pengkajian Jawa dan
Nusantara di Delf, maupun berikutknya di Leiden—berusaha keras untuk
menciptakan imaji “Jawa asli” atau “Jawa essensial” yang belum terkontaminasi
oleh unsur ‘asing’ bernama Islam. Dari Institut yang dikepalai seorang seorang duta
penting anggota penginjilan Belanda (Nederlandsch
Bijbelgenootschap) J.F.C. Gericke (1799-1857) itu beberapa kamus tentang
Jawa dan Melayu dibuat, penulisan babad
tanah Jawi secara baru diselenggarakan, dan tumpukan manuskrip kesusatraan
Jawa mulai terus-menerus dikumpulkan, dikaji, dan didefinisikan ulang. Otoritas
keilmuan Jawa harus beralih kepada kaum penjajah, agar seperti kasus pemerintah
Inggris di Bengal (India), penguasaan bahasa, sejarah, hukum, dan kebiasaan
rakyat pribumi yang dimiliki, berguna bagi pejabat colonial Belanda untuk
menjadi alat—meminjam kata-kata Scricke dalam laporannya kepada Pemerintah
Kolonial Belanda terkait pendirian Institut itu—“memerintah (mengelola) dan
berhubungan” dengan rakyat jajahan.
Pembentukan Jawa essensial ini menyiratkan asumsi sederhana,
bahwa kedatangan Islam berarti interupsi dan perusakan atas “kegemilangan” Jawa
(yang dikhayalkan) essensial di masa kejayaan Jawa Hindu-Budha Majapahit. Islam
adalah perusak Jawa, oleh karenanya ia dipandang “tidak Jawa”. Di lain waktu
misalnya saya menemui konfirmasi atas asumsi ini, dalam sebuah mahakarya kanon
sejarah sastra Jawa dari seorang Orientalis papan atas, Theodore Pigeaud, “Literature of Java I & II” (1967).
Pigeaud dalam karya itu membuat sketsa gambar dimana
(1) Kesusatraan Jawa mengalami puncak sofistikasi dan nilai estetiknya pada
masa lalu pra-Islam, dengan segenap warisan tulisan kawi (Kakawin) kunonya Zaman Hindhu-Budha Majapahit dan sebelumnya, (2) lalu
datang interupsi kedatangan Islam di awal abad 15-an awal dengan sastra pasisir-nya yang aneh dan asing, (3)
hingga munculnya sebuah kebangkitan baru yang oleh Pigeaud disebut sebagai
“Reneisance Kesusastraan Jawa” di keraton Surakarta abad 18-19 dengan tokoh
terkemuka Yasadipura dan Ronggawarsita.
Masa renaissan kesusasteraan ini dibayangkan sebagai
sebuah era kebangkitan baru, dimana para pengarang Jawa menulis, membangkitan
kembali, dan menggubah Kakawin bertema ‘India’ ke dalam genre penulisan baru
dalam bentuk serat, suluk, babad, dan wirid. Sebuah
tema yang mengingatkan sifat “adiluhung” yang dikhayalkan oleh para Javanici.
Reneisan
ini benar-benar dipandang telah mengekspresikan dirinya di puncak
kesempurnaannya pada penerjemahan karya klasik kakawin jawa kuno oleh para penyair-penyair istana, dalam bentuk
bait-bait sastra Jawa, setelah masa intrusi asing Kerajaan Islam di pasisir. Reneisans ini oleh Theodore
Pigeaud digambarkan dalam sebuah kalimatnya bernada optimis,
“Perubahan minat para sarjana Jawa dari teks Islam ke
kakawin Jawa Kuno, dan perkembangan lanjut kesusateraan Keraton Surakarta di
abad 18 dan 19, serupa dengan kelahiran kembali kesusateraan Jawa kuno. Efeknya,
karena para pujangga akhirnya berbelok dari Islam asing ke asal Jawa
Hindu-budha aslinya, (dan) puisi Jawa telah lahir.”
Ini titik penting, saat saya mulai menyadari bahwa
pengetahuan selalu terpaut dengan politik, tepatnya politik kebudayaan dalam
kasus ini. Imaji reneisan kesusateraan Jawa meski masih menjadi narasi umum
bagi dunia akademisi kita, sebenarnya telah mendapat sanggahan kerasnya baru di
akhir abad 21, yakni setelah terbitnya dua buah karya Nancy K. Florida, Javanese Literature in Surakarta Manuscripts,
Volume I, II, & III (2000& 2012).
Dalam karya tersebut, orang Barat pertama yang menerima
gelar ningrat Keraton Surakarta dengan sebutan Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Budayaningtyas itu benar-benar melakukan
pekerjaan “gila”, yakni mendokumentasikan naskah-naskah Jawa kuna yang ada di
Keraton Kasunanan Surakarta, Istana Mankunegaran, dan Perpustakaan Radya
Pustaka. Sekira mulai dari tahun 1980, gadis kelahiran Evansville, Indiana
(Amerika) itu bergelut dengan melibatkan hampir tiga perempat juta halaman
manuskrip.
Temuan Doktor Cornell itu benar-benar meruntuhkan dan
melawan tesis Pigeaud, yang awalnya membuat saya tambah gelisah itu. Dari hasil
penanganan katalogisasinya tiga koleksi keraton itu, ia menemukan 1450 judul
dari koleksi yang terdapat di dalamnya, hanya terdapat 17 karya gubahan klasik
Kawi kuno ke bait tembang Jawa Modern yang disebut-sebut menandai “reneisan”
yang terkemuka itu. Ini hanya mencakup 1 persen. Berkebalikan dengan 17 karya
tersebut, terdapat hampir 500 judul yang lebih jelasnya merupakan ragam
kesusasteraan Islam, yakni lebih dari sepertiga dari seluruh koleksi secara
bulat. Pendeknya, untuk setiap karya yang diduga sebagai “karya klasik India”,
malah terdapat 30 teks yang justru jelas-jelas Islam dalam isinya. Kesarjanaan
colonial, ungkapnya, telah benar-benar “gagal melihat” signifikansi melimpahnya
inskripsi Islam tersebut, dan dengan sengaja berusaha menegasikannya.
Bahkan saya sempat berjingkrak dan memekik bahagia, saat
dalam sebuah wawancara nya Kompas, Minggu, 22 Maret 2009, Ia
meringkaskan temuannya yakni dari 500 naskah di Keraton Surakarta, hanya 17 yang
“berbau” Hinduisme. Selebihnya Islam. Keraton Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta, yang selama ini dicitrakan Hinduistik, itu benar-benar sebuah ilusi
yang dikhayalkan. Dengan raut sumringah setelah menyelesikan wawancara itu,
Saya seolah telah menemukan setengah jawaban yang selama ini saya cari. Saya
merasa telah menemukan setengah diri saya.
Ia, dalam sebuah tulisan lain, bahkan secara sangat bagus
menunjukkan bagaimana para Pujangga yang dijadikan tonggak “reneisans” itu,
Yasadipura I, II, maupun Ranggawarsita, maupun kalangan berpengaruh di dalam
keraton, termasuk para penasihat spiritualnya, umumnya mendapatkan pendidikan
agama di pondok pesantren. Seperti Yasadipura I yang menghabiskan masa
belajarnya di pesantren dengan Kyai yang bernama Anggamaya di daerah
Kedu-Bagelen, juga Yasadipura II yang ngaji
di Pesantren Tegalsari Ponorogo, Kyai Kasan (Imam) Besari, maupun Ronggawarsita
yang setelah menyeleseikan ngaji-nya di
pesantren yang sama dijalani kakek-nya itu, ia menikmati masa pendidikan santri
yang kurang formal, dengan berkeliling dari pesantren ke pesantren di seluruh
Jawa Timur, dan kemudian ke sebuah pertapaan pandita hindu di Bali. Puluhan
karya suluk yang sebenarnya berarti
tembang sufistik Jawa, sesuai term suluk
itu berasal, yang mengaitkan keterkaitan pesantren dan Islam di Jawa masa itu,
seperti suluk burung-nya Yasadipura I
yang menjelaskan lapis-lapis kesempurnaan dalam diri manusia yang hanya dicapai
melalui Tuhan. Yakni sebuah eksposisi esoteric yang ingin mendamaikan tegangan
Islam Jawa dan mistisisme yang berbeda yang waktu itu masih memiliki bekas.
Juga serat ambiya yang menceritakan
genealogi kehidupan semesta dari tokoh nabi Yusuf, atau serat musa yang memaparkan sejarah panjang nabi musa.
Atau kita juga bisa melihat karya agung Serat Centhini yang terkenal karangan Yasadipura II, yang
sebenarnya lebih tepat ditempatkan sebagai karya dalam genre tembang sufistik
Jawa suluk (baca: Suluk Tambangraras). Sebuah mahakarya yang merupakan—meminjam bahasa
Nancy Florida—“kumpulan indah akan ngelmu
dari dunia pesantren Jawa yang kaya di abad 19 awal”. Salah satu anak
Yasadipura II terlibat sejarah konspirasi pemberontakan membela Pangeran
Diponegara yang membuatnya diasingkan di Batavia hingga mati, sedangkan anak yang
kedua pernah tercatat sebagai murid tarekat Syattariah yang taat. Apalagi
pujangga panutup Ronggawarsita dengan
prosa tapel adam-nya (babad Tapel Adam) yang mencari
asal-usulnya pada masa lalu Islam dari mulai proses penciptaan semesta melalui
jalur Nabi Muhammad. Juga Kaol saking kitab
Musarar kitab karanganya, yang menuliskan sejarah Jawa secara bolak-balik
dalam bingkai Islam. Yakni, kembali ke masa penduduk manusia pertama di bumi
dan maju hingga “Hari pengadilan” seperti diceritakan dalam Al Quran. Atau
terkait nama “seh samsu jen” sebagai salah satu guru prabu Jayabaya yang
dikenal dengan ramalannya, dalam serat
Kalatidanya-nya. Yang paling utama, Ranggawarsita juga mengarang naskah
bergenre wirid yang terkenal dengan
nama serat wirid hidayat Jati—sebuah mahakarya yang kata pengarangya hanya
menyarikan ajaran para wali tanah Jawi—yang
sering dikenal sebagai sebuah buku teks babon esoterisme Islam Jawa dan
merupakan pegangan praktik mistik Islam yang dikenal luas oleh masyarakat.
Lalu bagaimana saya menjelaskan ke-islaman, atau tepatnya
corak ke-Islam-an masyarakat Jawa lama yang berusaha disangkal dan sengaja
“tidak dilihat” oleh mata colonial ini?
Saya mendapat sedikit clue,
lagi-lagi melalui Nancy, bahwa Islam (di keraton) lebih bercorak sufi dan oleh
karenaya lebih fleksibel menerima baju kebudayaan lain tanpa kehilangan nafas “tokid”-nya (baca: I’tiqad/tauhid),
sedangkan corak ke-Islaman kita sekarang memang cenderung menekankan syariat,
oleh karenanya susah menerima standar ‘budaya’ yang lain. Ini persis seperti
diafrimasi Woorward dalam “Islam in Java”
(1997), bahwa Islam merasuk begitu cepat ke dalam jantung dan struktur
masyarakat Jawa, dipeluk erat oleh keraton untuk membangun konsep Negara
teokratik. Sufisme (mistik Islam) benar-benar telah menggeser inti kepercayaan
lama, dan akan memberi legitimasi yang kukuh ihwal teori ke-rajawian Jawa yang
bercorak hirarkis. Dalam sebuah kata-katanya yang blaka, “agama masyarakat Jawa adalah Islam sebab aspek-aspek
doktrin Islam (esoterisme Islam) telah mengganti Hindhuisme dan Budhisme
sebagai aksioma kebudayaan”.
Atau jika sedikit mau lebih gigih mencari, narasi ini juga
dengan mudah bisa ditemukan pada kalimat orientalis papan atas seperti Marsal
Hodgsons, “The Venture of Islam” (1974) jilid 3—seorang pakar ke-Islam-an yang
dipuja keras oleh begawan Nurcholis Madjid itu, “seandainya Islam Jawa
dipandang dari perspektif tradisi muslim secara keseluruhan, dan bukan dari
polemik reformisme modern, tentu akan bisa ditemukan di sana adanya kesamaan
yang mencolok dengan Islam timur tengah dan Asia selatan (di masa itu).”
Dalam sebuah gambaran yang lebih ringkas—mengutip wawancara
Nancy Florida (Kompas: 2003) “apa yang disangka sebagai elemen Hindhu yang
terdapat dalam kebudayan keraton Jawa, sebenarnya adalah tasawuf”. Setelah
pergulatan yang memaksa saya lebih dalam menyelam dalam timbunan manuskrip
berbahasa Jawa di abad 15-18, saya bertemu dengan affirmasi yang menenangkan.
Yasadipura II sebenarnya telah memberi panduan dalam bait-bait tembangnya di Serat Cebolek,
Punapa malih rasaning Kawi Apalagi “rasa”-nya (makna) Kawi
Bima Suci kalihan Wiwaha Bima Suci dan Arjuna wiwaha
Pan sami keh sasmitane Sungguh penuh pralambangnya
Ngenting rasaning ngelmu Sebuah “makna” ilmu yang sangat
dalam
Yen patitis kang mardikani Jika tepat (dalam) menguliti
maknanya
Kadyangga Kawi Rama Seperti halnya Kawi Rama
Punika tesawuf Itu merupakan
(karya) Tasawuf
Kalimat dalam bait tembang
(macapat) indah itu keluar dari pena seorang pujangga, yang menurut kesaksian
cucunya Ranggawarsita, di tiap malam-malamnya yang hening meneggelamkan diri
dalam pembacaan dan penulisan suluk.
Lalu bagaimana saya, lelaki yang telah berjalan kelewat jauh
dan sentimental itu, menjelaskan terbelahnya Islam Jawa ke dalam tiga varian
yang sering didiktekan oleh tokoh semisal Clifford Geertz dalam trikotomi
santri, abangan, priyayi? Bagaimana saya menjelaskan warisan Islam Jawa yang
setidaknya hingga masa terpisahnya Jawa ke dalam dua kerajaan besar, Kasunanan
dan Kasultanan (palihan nagari), telah
menjadi perekat masyarakat Jawa sebagai sebuah ‘bangsa’? Atau dengan penjelasan
macam apa Islam Jawa yang dulu menjadi “aksioma kebudayaan” yang benar-benar
menyatukan identitas pandangan dunia Jawa tersuruk dan mengekrut menjadi “kejawen”, yang terklaim menjadi ciri
identitas kelompok kecil dalam sebuah payung “aliran kebatinan” atau
“kepercayaan” yang sebenarnya baru muncul pertama kalinya di tahun 1930-an?
Tubuh saya benar-benar semakin bertambah berat.
***
Dalam sebuah karyanya, yang sayangnya saya temukan
belakangan, M.C. Ricklefs, Mystic
Synthesis in Java: A history of Islamization from the Fourteenth to the Early
Nineteenth Centuries, (EastBridge, 2006), mengakui—yang sekaligus menjadi
salah satu kesimpulan utamanya, bahwa Islam sebagai basis pembentukan
identitas, dan sekaligus jadi sumber tegangan, dan atau bahkan sumber konflik
bagi ‘bangsa Jawa’, akhirnya setidaknya hingga perjanjian Giyanti (1755), telah
diterima sebagai agama resmi, sekaligus identitas kejawaan yang mantap.
Sejarawan ini menyebut Islam nya orang Jawa di masa itu sebagai “Mystics Synthesis”, dimana keberagamaan
masyarakat Jawa ditandai, pertama, penerimanaan
identitas Islami sebagai elemen intrisink dalam pengalaman menjadi Jawa; kedua, komitmen atau ketaatan untuk
menjalankan kelima pilar rukun Islam; dan, akhirnya, ketiga penerimaan terhadap berbagai kekuatan, daya rohani, maupun
deretan figur-figur wali local juga kekuatan “berkah” manusia “keramat”maupun
kekuatan adrikodati lokal, seperti sunan kalijaga, sunan geseng, Nyai Roro
Kidul maupun Sunan Lawu, atau yang lain.
Saya sebenarnya sangat ingin memberi catatan atas keterangan
Ricklefs ini, yang bagi saya menyulut nada dan impresi peyoratif yang bisa
muncul dari term yang ia sodorkan. Namun, apalah saya. Untuk sementara saya
lewati dulu.
Kita tahu sejak kekalahan Perang Jawa (1825-1830), seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, Kolonialisme benar-benar memiliki projek
sistematis untuk menegasi keislaman orang Jawa, atau setidaknya mendegradasi
signifikansi Islam pribumi dalam sebuah bingkai sebagai sesuatu yang asing,
impor, “sinkretik”, dan “tidak Jawa” yang merongrong stabilitas kekuasaan
colonial. Pembentukan lembaga Javanologi-nya di tahun 1832 diniatkan untuk
menciptakan suasana nyaman dan “lingkungan jinak” benteng tebal kebudayaan di
keraton yang kedap dari pengaruh Islam yang “revolusioner”, “tidak Jinak”, dan
“intrusif” bagi kuasa colonial dalam sebuah imaji kebudayaan “adiluhung” yang
dikhayalkan terpaut masa lalu lama di zaman Majapahit yang Hindu-Budha. Secara
sederhana, dengan bantuan disiplin arkeologi dan filologi, pusat Javanologi
baru ini ingin mencipta tata “Jawa essensial” di lingkungan priyayi keraton,
dengan mendefiniskan ulang kejawaan yang terpaut masa lalu pra-Islam, yang
dengannya kekuasaan colonial mendapat stabilitas kuasa-nya.
Dari keterangan Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions (c.1830-1930)”(2007),
saya akhirnya menemukan gambar atau semacam peta yang menjelaskan pemebelahan
atau pengkutuban masyarakat Jawa ke dalam beberapa varian kelompok yang saling
menyerang, menegasi, dan menyangkal. Momen yang begitu menentukan itu terjadi
saat diterapkan system tanam paksa (coersed
drudgery) di tahun 1830 (tepat setelah kekalahan perang Jawa) atau sering
dinamakan Culturstelsel juga selanjutnya
system Politik Etis sekira di awal tahun 1900 yang lambat laun akan menggusur
pendidikan lama para bangsawan maupun rakyat jelata (pondok atau pesantren)
yang menyangga universum pengetahuan dan pandangan dunia lama Jawa, berganti dengan
sebuah system pendidikan “modern” baru yang dikenalkan oleh Belanda.
Dalam konteks system tanam paksa Cultuurstelsel, untuk kali pertamanya masyarakat Jawa yang memang
secara lumrah terbagi dalam beberapa stratifikasi sosial, digeret ke dalam
sebuah polarisasi yang “saling konfrontatif” dalam konteks relasinya dengan
kekuasaan, dan praktik pengerukan sumber daya alam. Saya akhirnya tahu, (1)
para bangsawan Jawa benar-benar dijadikan “pejabat sipil” yang menjadi “mesin
birokrasi” kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal politik eksploitasi
tanam paksa (priyayi), (2) para
pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan cash
money seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan, India, yang
sebagian telah terpengaruh ide-ide modernism dalam jaringan internasional, yakni
setelah dipaksa bercerai dengan kebudayaan keraton paska Perang Jawa (putihan), atau (3) para petani sebagai
subjek tertindas politik tanam paksa secara keseluruhan, yang telah kehilangan
naungan kepemimpinan baik para aristocrat keraton maupun sebagian tokoh agama (Islam
tradisional) mereka (abangan).
Usaha colonial untuk menciptakan suasana “nyaman” para
bangsawan Jawa—alias “jinak” terhadap kuasa colonial, yang secara bersamaan kedap
dari pengaruh Islam, benar-benar mendapatkan puncak kulminasinya di era
pendidikan politik Etis (MULO, HIS, Stovia), dimana para elite Jawa menjadi
semakin merasa aman dalam posisi mereka ketimbang tahun-tahun penuh gejolak,
kekerasan, dan perang pada zaman kerajaan sebelum masa colonial. Begitu yang
dikatakan Ricklefs. Para priyayi benar-benar semakin terserap ke dalam
pendidikan dan kebudayaan Belanda, yang akhirnya semakin mencerabut mereka dari
akar Islam “esoteric” Jawa-nya, dan selanjutnya (sebagian) berusaha keras
menautkan diri pada ke-Jawaan pra-Islam dalam naungan gerakan Theosofi sebagai aliran arus zaman baru.
Atau dalam kasus “rakyat Jelata”, mulai tumbuh subur sebuah corak keagaman baru
dalam payung “aliran Kebatinan” atau “Kejawen” yang muncul di tahun 1930-hingga
1960-an, yang berusaha memisahkan dari bangun resmi Islam yang telah telah
ditubuhkan oleh para wali tanah Jawi.
Saya akhirnya bisa memaklumi dan sedikit bisa merasa apa
yang sedang digelisahkan oleh sosok macam Kartini, atau gerakan Budi Utomo
yanhg berusaha membangkitakan “agama budi”
Jawa lama sesuai ramalan sabdo palon,
atau juga usaha pendirian “pondok” (bandingkan: Pondok pesantren) “Taman Siswa”
yang digelar oleh Ki Hajar Dewantoro. Polarisasi masyarakat Jawa ini
benar-benar bisa dilihat pada spectrum ‘aliran” pergerakan nasional di masa
sebelum kemerdekaan, juga politisasi “aliran” keagamaan pada pemilu 1955,
maupun pada masa puncak meletusnya konflik berdarah “1965”, sebagai sebuah
runtutan politik kebudayaan “pecah-belah” Kolonial yang berakar di masa lalu.
***
Lamat-lamat saya mulai menemukan gambar kasar ihwal kejawaan
dan ke-Islam-an, yang menggeret saya dalam sebuah pergulatan dan pencarian
menggelisahkan dan sekaligus menguras. Kejawaan Islam yang akrabi dulu di
sebuah dusun kecil di wilayah mataraman
dengan tradisi wayang, kenduri, ruwah, dan tembang-tembang pujian sore di di
sebuah langgar rapuh, akhirnya merangkai dalam sebuah gambar makna yang sedikit
membuat “penuh” diri. Gambar yang setengah saya temukan itu, ternyata tak
membuat pergulatan diri saya berhenti. Justru ia, lagi-lagi menarik saya
memutuskan—setelah setengah kepercayaan saya yang tak saya dapatkan dari karya
kesarjanaan Orientalis—untuk tenggelam dalam manuskrip-manuskrip Jawa lama abad
16 hingga 19, dan sayangnya berbagai “temuan” maupun “pertemuan” intimnya,
sebenarnya ingin saya bagi hari ini. Namun keterbatasan waktu yang diberikan,
memaksa saya harus rela menundanya untuk lain waktu dan kesempatan.
Namun, saya sekarang tahu—setidaknya untuk sedikit
meringkaskan—bahwa saya memang sedang dalam sebuah “perjalanan”, atau suluk, alias lelaku. Sebuah istilah yang telah dioperasionalkan oleh para wali
tanah Jawi untuk menamai genre tembang (macapat)
yang menyampaikan ajaran esoteric sufi (Jawa)—sebagaimana term suluk berasal—yakni sebuah istilah untuk
menggambarkan perjalanan “sangkan paran”
manusia (baca: Innalillahi…) dari
sejak berada dalam kandungan (maskumambang),
lahir (mijil), muda (sinom) yang perlu tuntunan (kinathi), mencari pasangan (asmaradana), menikah (gambuh), merasakan pahit-getir kehidupan
(dhandang gula), memberi bakti baik
kepada masyarakat (durma), memungkuri
atau membelakangi dunia alias tua (pangkur),
sebelum berpisahnya raga dengan ruh (megatruh),
hingga berujung kain kafan yang siap-siap menyelubungi manusia di liang lahat (pocung).
Sebuah tembang kehidupan, yang mengajari “mulat sarira” alias mengawasi “diri
rendah” kita sendiri yang berjumlah empat itu, alias “membaca empat” (macapat) unsur nafsu diri yang bisa
membelokkan diri dalam “perjalanan”, laku,
atau suluk (sedulur papat lima pancer). Sebuah genre tembang yang tidak akan
anda temui di masa Majapahit. Atau juga sebuah tembang yang telah
disederhanakan dalam bentuk pengajaran moral didaktis keseharian dalam bentuk
tulis bernama “serat” (baca: Arab surah) yang dipandu dengan amaliah
ruhani bernama (genre tembang) “wirid”
(layaknya bacaan wirid setelah
sembahyang), yakni sebagai bekal untuk mengenali kedirian kita yang telah
tertanam secara historis dan particular dalam sebuah rantai genealogi masyarakat
Jawa yang bersambung dalam genre “babad”.
Semua pergulatan diri untuk mencapai “kesempurnaan” diri
atau janma utama (baca: insan kamil) ini—yang oleh para wali dan
pujangga tanah Jawi sering disebut ilmu “kasidan
Jati” (“kesempurnaan sejati”, seperti makna pada kata purnama sidi, bulan sempurna),
atau disebut ngelmu kasampurnan, atau
seperti tertera di dalam Centhini
maupun Kitab Bonang disebut sebagai ngelmu makripat—tergelar secara megah
dalam pagelaran wayang kulit purwa. Sebuah produk kebudayaan dari hasil olah budi
atau olah diri, yang bahkan orang macam Theodore Pigeaud dalam “Literature
Java” nya tidak kuasa menyangkal akan peranan para wali dan para sunan tanah
Jawi sebagai “pencipta”-nya.
Wayang dengan peradaban gending dan susastranya, seperti
dinarasikan implisit oleh para Wali, menggelar layar “kelir” kehidupan manusia
yang bergulat dalam “perang besar” mengalahkan 100 watak buruk dalam dirinya (Kurawa), yang muncul dari perangkat pancadriya-nya
(Pandawa) yang menjadi tugasnya di alam sakalir ini yang akan mengantarkan lelakon anda pada puncak
pengetahuan—seperti dikatakan dalam serat
wedhatama, “ngelmu iku kelakone
kanthi laku”—bahwa seluruh lelampahan
dan realitas hidup ini adalah hanya merupakan epifani tuhan yang tergelar dalam
jagad pramuditya bahwa “ora ana apa-apa kejaba dudu” (tak ada
apa-apa kecuali yang bukan). Sebuah
rumusan ontologis yang selaras dengan tauhid: La maujuda illa llah.
Karena hanya dari diri yang telah menundukkan diri-rendahnya
dalam sebuah kondisi hati yang sudah menep
dan rasa yang telah bening (rasa wening) manusia dengan pengetahuan
itu (ngelmu) bisa menebar kebaikan (nyantosani), memberantas keburukan (pangekese dur angkara), dan mempercantik
semesta menjadi rahmat bagi manusia di bumi (memayu hayuning bawana). Karena tanpa lelaku seperti itu—meminjam istilah Sultan Agung dalam serat sastra gending karangannya, kita,
orang yang masih terbelit “ego” itu tidak mungkin dapat menyeleraskan gending dan sastra, dan “Jika gending
telah rusak batal seluruh sembahyang kita”.
***
Palastra,
akhirnya setelah pergulatan diri yang melelahkan, dan sayangnya saya masih ada
di dalamnya, saya hanya sedikit tahu, bahwa saya (masih) sedang bergulat. Saya
masih dalam sebuah “perjalanan”. Saya masih dalam sebuah “lelakon”. Saya pungkasi tulisan ini dengan mengutip Serat Rerepen yang ditulis oleh
Pakubuwana X, dalam pupuh pangkur,
sebagai proklamasi manunggal-nya
Islam dan Jawa,
Narendra miwah Pujangga Raja
beserta para pujangga
Wali lan Pandita jatine Kaki Para
wali dan pandita sejatinya anakku
Karsaning kang maha Agung Atas
izin (iradah) nya Allah
Gunggunging Islam Jawa Mengangung-agungkan
Islam Jawa
Marmane langgengna tunggal loro iku Maka jagalah kesatuan dwi-tunggal itu
Ja ana ingkang tinggal Jawa Jangan
ada yang tinggal Jawa
Lan Ja ana adoh agami Dan
jangan ada yang jauh dari agama (Islam)
(Sri Pakubuwana X, Serat
Rerepen, Pupuh Pangkur, pada ke 2)
Cepokojajar, Rabu, 21 Maret
2018.
*) Irfan Afifi, santri Pondok Pesantren Al Miftah Mlangi, Yogyakarta, alumnus jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
NB: Seluruh kutipan buku yang saya gunakan di dalam paper
ini belum saya seebutkan dalam sebuah catatan kaki maupun daftar. Hal ini
dikarenakan waktu yang terbatas yang terberi. Di lain waktu saya akan
menyempurnakan tulisan agar bisa dirujuk sumber-sumber yang saya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar