Selasa, 08 Oktober 2019

Saya, Jawa, dan Islam: Pergulatan Diri

Irfan Afifi *
(Ifada Initiatives)

Jika boleh mengingat, pertemuan saya dengan Islam dan Jawa mungkin sejenis pertemuan dengan diri yang menggetarkan. Dan hingga hari ini saya masih merasakan getaran itu, yang sayangnya bahkan hingga sekarang ternyata saya masih berada dalam suasana itu.


Di tahun 2007 awal, di sebuah sudut sempit rumah kontrakan tua berukuran 3x6 m di Kuningan, Sleman, tak seberapa jauh dari UGM, tempat saya kuliah, saya bertemu orang tua yang biasa saja. Ia, yang bernama, Paryono, dikenal orang sebagai dukun pijat yang tak laris. Waktu itu, pinggang saya sedang bermasalah. Saya menemui orang tua yang bahkan masih kesusahan membayar kontrakan itu memijit saya dengan kesabaran, dan juga kearifan. Ia membenarkan otot pinggang saya dengan bercerita. Ia, dalam kesan saya waktu itu, malah sedang ingin menuturi anaknya sendiri. Ia tiba-tiba bercerita, atau tepatnya memberi wejangan, yang anehnya tidak terkait pinggang saya, melainkan terkait diri saya.

Semestinya, seturut penuturannya, saya sudah harus mulai madeg pribadi mengatur empat teman dalam diri, agar bukan hanya keseimbangan dalam diri terpenuhi, melainkan agar bertemu dengan “makna’ juga “diri”. Ia menderet teman dalam diri itu dari teman merah (kanca abang), kuning (kanca kuning), hitam (kanca ireng), dan putih (kanca putih). “Kamu harus menjadi pancer bagi sedulur-mu yang berjumalah empat dalam dirimu itu,” cecarnya dalam nada rendah (baca: sedulur papat lima pancer).

Wejangannya sore itu membuat saya terperangah. Selain karena menyentil rasa identitas “keJawaan” saya yang memang lama saya gelisahkan, Ia sebenarnya dengan lebih parah sedang meruntuhkan seluruh, atau setidaknya sebagaian apa yang saya pelajari secara kukuh di bangku kuliah filsafat UGM. Apa yang saya dapat dari kampus tua tempat saya kuliah hari itu menampakkan banyak lubang dan retak, yang hanya sedikit memberi harap ihwal tanya tentang pergulatan pencarian diri. Ia dalam sebuah gerak ganda sedang mengingatkan di satu sisi ada banyak pergulatan pemikiran filsafat yang saya pelajari hampir 7 tahun di fakultas Universitas Gadjah Mada itu tak memberi banyak hal yang saya perlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang saya sedang gelisahkan, maupun di sisi lain saya mulai tersadar, bahwa kampus yang saya banggakan itu bahkan tak terlalu memberi “ruang perkuliahan” yang mengajarkan bangun pandang dunia masyarakat Indonnesia, alias filsafat masyarakat, yakni masyarakat tempat saya tertanam di dalamnya.

Hari itu, setidaknya seperti lamat-lamat saya ingat, saya Irfan Afifi, alias orang yang sedang menenggelamkan diri dengan unggunan diktat, jurnal, makalah, dan buku-buku tua berdebu ihwal pemikiran filsafat dunia, hingga akhir masa-masa kelulusan saya, sedang tidak mengerti apa-apa tentang “pemikiran filsafat” masyarakatnya. Ia sedang tidak mengenal dirinya sendiri.
***

Saya lahir di dusun kecil nan terpencil di Dusun Tempursari, Desa Tambakboyo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), sebuah desa kecil di ujung barat hutan jati Ngawi yang berbatasan dengan wilayah administratif Jawa tengah, tepat di hamparan sebelah utara Gunung Lawu yang maha perkasa itu. Konon, menurut cerita tutur masyarakat, yang hingga hari ini masih diceritakan secara gethok-tular, Kakek (Buyut) saya adalah orang pertama yang membuka lahan alias babad alas, membangun rumah, menetap, dan mendirikan masjid dan pesantren di desa tempat bertemunya kali lor (sungai utara) dan kali sangit (sungai berbau sangit), yakni sebuah wilayah pertemuan (tempur-an) dua sungai (sari), sebagaimana nama Tempursari disematkan pada wilayah itu. Ia yang awalnya merupakan hutan, disulap oleh Kakek menjadi sebuah permukiman yang mengundang banyak orang yang menetap di sana.

Cerita mitis atau bahkan magis menyelimuti desa kami. Kakek, yang bernama Sumadita, seperti dituturkan yakni sejak kekalahan Perang Jawa (1825-1830), dimana ia digambarkan sebagai salah satu temenggung perang digdaya Pangeran Diponegara, memutuskan berlari ke timur, menjadi santri Kyai Kasan (Imam) Besari II di Pesantren “Gebang Tinatar” Tegalsari (Ponorogo), sebuah pesantren tersohor yang kita kenal sebagai tempat pelarian Pakubuwono II di masa krisis, juga tempat Yasadipura II, maupun pujangga panutup Ronggawarsita menyesap “ngelmu” dan menerima “wahyu kapujanggan”-nya. Ia kabarnya, setelah masa cukup nyantrinya, di suruh berjalan ke arah barat dan tidak diperbolehkan berhenti sebelum bertemu dua pohon kelapa yang terpaut jarak tertentu di tengah hutan. Dalam perjalanannya Ia “dititipi” anak gadis Sang Kyai “Tegalsari” itu, yang kelak kita ketahui sebagai istri yang menemani hidupnya di wilayah baru yang akan ia tinggali. Hingga, syahdan, ia bertemu pohon kelapa di tengah hutan yang diantara dua wilayah yang berdekatan, mengikat tunas daun kelapa (janur) keduanya, dan mengikuti kehendak nasib untuk tinggal dan menetap di tempat ikat yang membelit janur di salah satu pohon kelapa tersebut terputus setelah menunggu selang beberapa waktu, seperti saran Kyai Kasan Besari.

Ia, setelah membangun rumah beserta 7 teman santrinya, mengubah nama menjadi Kasan Istadz (Hasan Istadz), nama yang mungkin mengingatkan akan nama sang guru, Kasan (Besari). Cerita mistis seputar desa selalu terpaut diri juga anaknya (Kyai Jahid, bapak yang melahirkan ibu saya). Mbah Kasan Istadz misalnya sering dikatakan mempunyai “kendaraan” kesayangan berwujud “harimau” (Macan), yang hingga masa belakang, setidaknya hingga pernikahan kakak perempuan saya yang terakhir (tahun 90-an akhir), masih menampakkan diri pada Ibu saya. Dulu banyak saudara bercerita, Jika saudara dan masyarakat melihat macan simbah keluar dari balik hutan desa kami yang masih berdekatan, mereka memberi tahu tetangga, “macan simbah teka! “Harimau simbah datang!”, segera buru-buru mereka memberi sesajen.

Atau cerita pembuatan bedug masjid, yang hingga hari ini masih utuh dan melegenda. Masyarakat yang telah berhari-hari memotong pohon sebesar dua tangkupan rentangan pelukan panjang tangan orang dewasa di hutan yang berdekatan, yakni untuk keperluan bedug, terpaksa menyerah. Dalam satu hari, tebasan golok dan kapak ternyata baru bisa melobangi batang pohon tersebut hingga setengah. Namun, saat para penebang kembali keesokan harinya, tebasan di pangkal pohon itu kembali utuh lagi. Mereka menebas lagi, pohon utuh kembali. Begitu, hingga beberapa waktu. Akhirnya mereka mengeluh pada Kyai Jahid. Sang Kyai mendatangi pohon. Ia akhirnya bersepakat dengan jim penunggu pohon agar pohon berkenan ditebang dan dijadikan bedug di masjid desa, tempat kami tepatnya saya menghabiskan masa kecil hingga menginjak dewasa, yakni dengan syarat: para jin itu turut menunggu bedug dan masjid. Konon, setelah pohon tumbang, tongkat kakek-lah yang menjadi pengungkit yang menggelindingkan potongan pohon itu hingga ke depan masjid.

Saya nyaris menghabiskan masa ngaji madrasah dan pesantren, maupun pergaulan hidup hingga menginjak dewasa di desa ini, yang dikenal sebagai dusun santri oleh beberapa desa tetangga. Di desa ini pula, yang terkait desa-desa tetangga yang berdekatan, saya melewatkan masa kecil tidur di sebuah langgar kecil, mengaji di rumah kecil Kyai, atau menonton wayang, jaranan, dan reog di desa seberang sungai sebelah utara rumah. Sebuah masa, pesantren kakek masih berjalan dengan sederhana, dimana banyak orang datang dari beberapa desa ngenger di rumah sang kyai ataupun rumah tetangga yang lain, kemudian di waktu subuh atau sore hari pergi ke rumah sang Kyai, men-sorog-kan (baca: sorogan) satu kitab kuning tertentu, atau berpindah pada rumah generasi kyai baru yang mulai bermunculan untuk mengaji kitab lain sesuai bidang keilmuan yang dikuasai oleh kyai-kyai bersangkutan.

Masa dimana pesantren dalam pengertian luasnya belum memungut biaya apapun yang mempunyai gedung megah yang tertata secara administrative maupun pengajaran. Sebuah masa orang-orang miskin yang berdatangan dari beberapa desa lain merayakan “berkat” nasi-penganan dari acara megengan, ruwahan, tingkeban (mitoni), sepasaran, syuroan, manaqiban, kenduri, berjanjen, rebo wekasan, bada kupat, khataman, sunatan, malam tirakatan di malam ganjil saat puasa, hingga bancakan di hari raya idul fitri maupun idul adha, benar-benar masih bisa membantu para santri lelana maupun mukim menyumpal perut mereka yang keroncongan.

Islam yang menjadi identitas dan membentuk diri saya benar-benar—dengan menyisihkan pelajaran Quran madrasah dan pengajaran kitab kuning yang saya pelajari dari rumah antar kyai, maupun belakangan pengajaran dari sebuah pesantren seorang menantu “keluarga besar” yang berhasil menempati petak luas pesantren yang terpusat di pinggir desa—sungguh hadir dalam bingkai tradisinya. Islam yang saya kenal dan hayati, tak lain adalah tradisi itu sendiri, atau minimal hadir dalam bingkai tradisi desa kami. Dan saya tak mengenal dari yang lain. Dulu, saat saya sudah mulai mengenal bacaan beberapa pemikir intelektual muslim dan sedikit bisa memahaminya, mereka menyebutnya “Islam yang manifest”, alias islam yang telah bersenyawa dengan tradisi. Islam yang tidak lagi mengawang pada ajaran yang tak tersentuh, melainkan Islam yang telah terinstitusikan secara subtil dalam tradisi. Oleh karenanya ia nyaris tak memilah-milah lagi agama vis avis budaya. Islam yang tak mungkin dikenali lagi dari sudut lain kejawaan, yang memang pelan-pelan membentuk diri dan cara pandang dunia saya. Setelah meninggalkan desa, saya bahkan sering berimaji dan mengidealkan tentang sebuah masa indah dan “damai” dimana islam selalu berarti rahmat karena memang telah menjadi bagian praktik sehari-hari yang santun, dan sayangnya saya selalu saja kembali mengingat desa tempat saya lahir.
***

Mungkin hidup tersusun dari perpisahan dan pertemuan yang kadang menyesakkan. Pada tahun 2000, masa untuk kali pertama saya meninggalkan desa dan memutuskan kuliah dan mengakrabi bangunan tua filsafat di bilangan kampus Bulaksumur (UGM). Masa-masa perkuliahan saya benar-benar saya lewati dengan getir. Ada banyak pertemuan asing sekaligus melabarak dan menggungat pemahaman dan diri. Saya memasuki sebuah universum, kategori dan pemahaman lama terkait identitas dan keagamaan tak lagi bisa menampung spectrum “dunia baru” yang mulai mau tak mau harus saya akrabi. Saya mulai bertemu dengan Islam yang berbeda, yang kadang-kadang kasar dan menyerang. Saya juga mulai bertemu gagasan para pemikir dunia, yang mengajarkan cara memandang dunia dan hidup secara bahkan “nir-tuhan” dan “nir-agama”. Identitas yang sebelumnya membantu saya melihat dunia tiba-tiba menjadi oleng, dan bahkan di masa pertengahan kuliah, saya sempat ambruk. Seluruh batu-bata yang menyangga rumah “diri” saya runtuh. Saya tersuruk.

Saya lamat-lamat ingat, di sebuah siang di bulan puasa yang kelabu, tepatnya di depan musola fakultas, saya orang yang sedang linglung itu secara “demonstratif’ merokok dengan berjalan diantara hilir mudik orang yang sedang mengantri solat. Di Setiap diskusi yang saya hadiri, saya selalu menyerang kecenderungan mengungkung baik terkait diskursus pemikiran keilmuan, maupun agama. Saya bahkan masih ingat, beberapa teman menjuluki saya sebagai “bulldozer” yang siap menabrak dan meratakan setiap pemikiran kaku, apalagi itu terkait pemikiran dan laku beragama yang jumud. Sebuah masa getir dimana preskripsi norma agama dan tradisi telah saya tanggalkan, unggunan diskursus maupun ajarannya tak lagi bisa membantu apa-apa, dan yang tersisa tinggal sosok Ibu. Saya takut membuatnya terluka.

Di sudut lusuh petak sempit sebuah kontrakan di Karang Malang (dekat UNY), saya tidur dengan tumpukan buku-buku, yang saya andaikan bisa mengganti “pengangan” saya di saat tersuruk. Tumpukan buku-buku babon filsafat, pemikiran Islam, sejarah, sosiologi, antropologi, ataupun bahkan buku sastra yang sedikit menenangkan, ternyata tak terlalu membantu. Atau setidaknya saya pernah menyibukkan diri dengan belajar menulis di sebuah lembaga pers kampus Balairung di komplek b21, Bulaksumur, untuk mengatasi keruwetan dan kegelisahan saya. Ihwal diskursus keagamaan, dengan rakus saya mengais-ngais “pegangan” dari Nur Cholis Madjid, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat, Haidar Bagir, Ulil Absor Abdala, hingga tokoh pemikir Islam dunia Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Naqib Al Attas, Seyyed Hossein Nasr, Jabiri, Arqoun, Syar’ati, Asghar Ali, Khalil, Adonis, serta para pemikir orientalis ternama, seperti H.R. Gibb, Montgomery Watt, Ignaz Golziher, Esposito, Hodgson, dll. Para pemikir Islam ini, yang tak mungkin saya deret semua, sedikit membantu menyusun batu-bata awal pemikiran Islam, menata term-term kunci Islam dengan pengertian barunya, yang dulu sempat menyangga diri, yang mulai membentuk corak ke-Islam-an saya yang mulai terbarukan.

Namun, hingga saya merampungkan skripsi saya di filsafat, ternyata ini baru setengah cerita, atau malah sepertiga cerita. Diri saya tetap growong dan bolong di sana-sini. Saya (masih) gelisah. Saya coba mengatasinya dengan memulai menyentuh khasanah tradisi filsafat Islam, juga mistisisme Islam (sufisme) yang dulu saat kuliah, hanya saya baca sepintas lalu. Buku-buku tokoh perennial macam Chittiks, Martin Link, Arberry, Hossein Nasr, Houston Smith, Reynold Nickolson, Karen Armstrong, Firtchof Schuon, Annimerie Schimmel, dll saya lahab dengan rakus. Bahasa arab saya yang pas-pasan, sisa pelajaran ngaji saya dulu, maupun ingatan lamat masa pendek dua tahun setengah kuliah di Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga (saat bersamaan jadwal kuliah di Gadjah Mada) yang akhirnya tak rampung, sedikit membantu saya mengurai teks-teks filsafat Islam, maupun sejumput kitab tasawuf yang bisa saya raih.

Di masa awal pernikahan saya, sejauh saya ingat, saya memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai redaktur di sebuah media online. Yang menggelisahkan saya bukan uang, meski sumber keuangan kami semakin menipis. Saya mengajak tinggal istri, sosok yang mungkin tak pernah benar-benar mengerti apa yang digelisahkan suaminya, di sebuah kontrakan kecil yang berbagi dengan pemilik kos di pinggir desa Mlangi, agar saya bisa ngaji di waktu subuh dan malam di pesantren lagi. Istri saya yang baru saya kelar dari S2 nya, alias juga belum punya pekerjaan, harus menatap dengan murung pasangannya yang tak sama sekali gelisah dengan uang, dan hanya mengerjakan orderan editing di siang hari, yakni dengan upah yang tak seberapa. Ia, sang istri yang kelewat sabar, bahkan rela menjalani berjualan “bakpia” satu tampar, hanya untuk menyambung hidup. Kadang jika saya teringat masa-masa pahit itu saya menitikkan air mata. Saya ingin meminta maaf untuk kesekian kalinya.

Saya menjalani pergulatan dan masa ngaji di Mlangi sekira 2 tahun. Hasil permenungan saya di sebuah desa tempat masjid pathok Negara sebelah barat itu, menelurkan beberapa kelebatan gagasan samar bahwa agama pada akhirnya, setidaknya bagi saya hingga hari itu, adalah sebentuk disiplin amaliah tertentu, yang wawasaannya tidak berasal spekulasi abstrak, namun sebuah latihan ruhaniah (spiritual) dan gaya hidup etis berdedikasi. Karena, tanpa amalan seperti itu, saya rasa, mustahil untuk memahami ajarannya. Mungkin ini mirip seperti “berenang”, kita tidak bisa mempelajarinya dari konsep abstrak tertentu, melainkan kita harus segera menceburkan diri dalam kolam atau air, dan memperoleh ketangkasan tertentu melalui latihan yang berdedikasi.

Di masa itu saya benar-benar terbenam dalam penghayatan. Saya mulai menyadari saya harus mulai mengenali diri saya sediri (baca: man arofa…). Mengenali saya ini siapa, dari mana, dan hendak kemana. Saya menemui faktisitas diri: Saya orang Jawa yang bergama Islam itu harus rela menerima kemestian bahwa saya “terpaksa” lahir di sebuah dusun di Jawa, yang dengan seluruh perangkat tradisi, budaya, dan praktik keseharian yang membentuk diri, berusaha memandang dan memberi makna hidup, bahkan terhadap ajaran agamanya. Pencarian itu berujung: Saya Jawa, saya Islam. Sejak itu, saya seperti baru memulai sebuah perjalanan. Tumpukan dokumen dan buku-buku penelitian antropologis, sosiologis, bahkan filosofis terkait Jawa dan Islam di Indonesia, baik karya-karya orientalis Barat maupun Sarjana dalam negeri, benar-benar semakin merecoki dan meyesaki kenyamanan ruang sempit kamar saya dan terutama istri yang dirundung sesak karena tak segera mendapat sumber penghidupan yang wajar.
***

Di sebuah malam pekat di pertengahan tahun 2014, setelah pergulatan panjang dengan kajian tentang Jawa, saya benar-benar tersentak saat membaca desertasi Harun Hadiwiyono, “Man in The Present Javanese Mysticism”(1967), yang sering menjadi rujukan penting dalam menilai Islam Jawa di jantung pandangan dunianya yang menjadi identitas penyatu masyarakat Jawa itu, bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang menyelimuti masyarakat Jawa secara keseluruhan. Ia bahkan dengan mendinamisir aspek-aspek pinggiran yang tak terlalu penting—yang memang terdapat di dalam kebudayaan ini—untuk meneguhkan apriori dugaan awalnya bahwa Islam memang merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Jawa. Ia adalah Islam yang telah tercampur. Sayangnya, Harun Hadiwiyono tak sendiri. Ada deretan orientalis yang berkata yang kurang lebih sama. Karya-karya Mulder, Geertz, Zoetmoelder, Snouck Hurgronje, Pigeaud, G.W.J Drewes, D.A. Rinkes, Pijper, De Graff, Zoet Mulder, hingga Geertz nyaris hanya berkata hal sama, atau setidaknya memberi label Islam di pulau ini sebagai “Islam Sinkretis”, dengan seluruh kandungan peyoratif yang dikandungnya, yakni sebuah agama yang diterima secara enggan, yang kemudian dengan rasa frustasi yang akut mencampur-campurnya dalam sebuah adukan yang tak jelas bentuknya.

Cerita belum benar-benar rampung. Saya berusaha mencari penjelasan lain, tentu sudut “rasa” ke-Islam-an saya. Saya membaca pemikir muslim seperti Hamka “Perkembangan Kebatinan dan Jawa” maupun Rasyidi “Kebatinan dan Islam” dengan acuan refrensi penting kitab babon Islam Jawa seperti Chentini, Serat Wirid Hidayat Djati, atau Juga Simuh “ Islam Mistis Ranggawarsita”. Dua tokoh yang saya sebut di awal nyaris hanya mengafirmasi apa yang dikatakan Hadiwiyono. Bahkan sebuah “pasase” yang menyakitkan Hamka menyebut Islam Jawa berada di dalam kondisi bagalu putu, alias samar, tak jelas, dan campur aduk. Atau Serat wirid Hidayat jati yang dikatakan oleh pengarangnya Ranggawarsita hanya menyarikan ajaran para wali tanah Jawi, ditangani oleh Rasyidi—seorang doctor dari Paris yang mengcurahkan tenaganya mendalami Centhini untuk desertasinya dan pernah menjadi menteri agama Indonesia itu—dengan sangat menyayat menempatkan “wirid” sebagai ajaran sufisme Jawa yang bertentangan dengan Ajaran Islam.

Saya benar-benar tersuruk untuk kedua kalinya. Identitas yang membentuk saya, Jawa dan Islam, saat ini ada dalam posisi yang saling menegasikan. Islam versus Jawa dalam relasi yang saling hadap-perhadap. Ada perselisihan, atau tepatnya pertentangan yang benar-benar menggoncang diri. Dengan sisa energi yang hampir habis, saya lamat-lamat semakin mengerti bahwa ada sebuah narasi besar Kolonialisme, yang sejak lama tertimbun dan membentuk frame melihat ke-Islam-an kita—yang sayangnya hingga hari terus-menerus menjadi narasi besar para sarjana maupun akademisi kita—yang naras-narasi lanjutan yang telah didedah sebelumnya hanya merupakan catatan kaki dari sebuah frame yang dibentuk di awal colonial yang hari ini masih kita imani secara kukuh.

Dalam penelurusan yang melehkan, saya jadi tahu, bahwa untuk pertama seorang Raffles dengan “History of Java” (1817)-nya atau John Crawfurd dengan “History of Indian Archipelego”(1820)-nya di awal abad 19 benar-benar telah memberi strukturasi yang padu dan fixed terkait defenisi “Islam Jawa” yang bertahan yang menjadi “cetak biru” ihwal bagaimana seharusnya “Islam Jawa” didefinisikan. Dan belakangan saya tahu, rumusan defenisi itu akan menjadi kerangka yang akan diajarkan dan terus-menerus dan diulang oleh para pejabat dan pegawai sipil Belanda di awal pendidikannya sebelum bertugas di Hindia Belanda.

Kesimpulan karya “History of Indian Archipelego”-nya Crawfurd maupun “History of Java”-nya Raffles, sebagai sebuah karya ensiklopedis pertama yang mengumpulkan seluruh informasi terkait seluruh hal-ihwal penduduk di pulau ini benar-benar akan memberi “aksioma” makna dan affirmasi akan “agama Jawa” yang dijadikan acuan para Javanologi Belanda hingga beberapa abad setelahnya. Atau malah, dugaan saya, masih akan bertahan hingga hari ini. Islam Jawa menurut Raffles dalam catatan “History”-nya—yang hanya diberi porsi pembahasan sekitar 13 halaman sisa dari 65 terkait agama kuno Jawa itu—adalah katanya sejenis supervisial muslim alias “muslim hanya pada permukaan”. Bahkan lebih lanjut Menurut Crawfurd, Islamnya orang Jawa adalah sejenis modified Islam, a mixture of native customs with Islamic dan Hindu laws.

Saya juga mulai tahu, bahwa Raffles lah orang yang menghidupkan kembali Het Bataviaash Genoothschap voor en Wtenschappern (Batavian Society) atau sering dikenal dengan Royal Batavian Society Art and Science, yakni sebuah lembaga dan Society bentukan Belanda yang pertama kali pernah ada di Asia—bahkan mendahului Royal Asiatic Society bikinan Inggris. Ia adalah orientalis pertama dengan niat intensi akademiknya mengarahkan kajian Society yang sebelumnya di masa VOC hanya melulu terkait geografi, teknologi, agrikultur, sejarah alam, etnologi, kesehatan tropis, serta sedikit tentang sejarah dan sastra, bergeser serta memberi porsi lebih pada kajian “sastra” dan “agama”.

Sejak Raffles mengambil alih lembaga ini, kajian tentang deskripsi etnografis dan agama Jawa meningkat dratis. Memang sebelum tahun 1800, sudah ada beberapa orientalis Belanda yang tertarik dengan kajian sastra Jawa. Tapi hanya di masa Raffless dan Crawfurd lah yang menandai tinggal landas menuju studi saintifik akan bahasa dan sastra Jawa. Kita tahu, sejak tinggal di Yogyakarta, Crawfurd belajar dengan intensif bahasa dan sastra Jawa dan berteman aktif dengan para bangsawan istana Keraton Yogyakarta. Ia juga sempat belajar bahasa dan sastra Melayu di Penang, sebelum berlabuh di Jawa.

Narasi atas agama Jawa ini (Islam Jawa) terkait dua karya monumental yang disebut sebelumnya, dimana Crawfurd menyebut masyarakat Jawa memiliki cacat “kapabilitas mental” untuk memahami atau menjangkau ide-ide abstrak Islam—di kemudian hari, direprodusir berulang-ulang di sekolah dan universitas tempat pendidikan calon pegawai sipil dan militer Belanda, maupun para akademisi Belanda sebelum masa tugas mereka di Hindia Belanda. Doktrin tentang “agama Jawa” sebagai supervisial muslim inilah yang kemudian memberi strukturasi pada pengalaman para pejabat Hindia Belanda di tanah Jajahan.

Saya oleh karenaya bisa sedikit maklum, bagaimana orang-orang seperti Roorda van Eisinga (1819-1830 M), seorang sarjana dengan pengetahuan ekstensif paling terkemuka di masanya tentang Jawa, Melayu, Arab, dalam sebuah ceramahnya di tahun tertentu pada calon-calon pejabat colonial yang akan berangkat ke Hindia Belanda masih mengulang proposisi yang sama seperti dikatakan Raffless dan Crawfurd. Atau juga Johannes Oliver, seorang kepala sekolah pemerintah untuk calon pejabat colonial menulis dalam jurnal “De Osterling” di setengah awal abad 19 mengatakan: Islamnya orang Jawa adalah mixed with Hindu concept atau dalam istilah lain restricted to behavior. Saya mungkin kali ini benar-benar mulai kehabisan tenaga. Bagaimana saya menjelaskan ini? Bagaimana saya menjelaskan dua identitas yang membentuk diri saya, Islam dan Jawa saling bertabarakan dan saling mengasikan? Bagaimana saya menjelaskan “kegagalan para wali” katakanlah begitu, yang bahkan makam dan petilasannya itu saya begitu kagumi?
***

Saya mungkin orang yang akan ambruk untuk ketiga kalinya, hingga suatu siang yang sedikit mendung di sebuah Kampus di Kota Malang saya menemukan dua tulisan Nancy K. Florida, yakni “Writing Tradition in Colonial Java: The Question of Islam” (1997) dan “Reading Unread in Traditional Javanese Literature” (1987), juga karya yang mendukung lain seperti Michael Laffans, “The Making Indonesian Islam” (2011). Saya mulai sedikit menyadari ada sebuah peta besar yang ingin didesakkan dari sejak masa formatif diskursus colonial dalam menjinakkan masyarakat Jawa untuk kelanggengan dominasi kekuasaannya, politik amupun ekonomi, di tanah Jajahan.

Sejak kekalahan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh seorang pangeran Jawa  bergelar Pangeran Dipanegara yang didukung oleh jaringan tokoh-tokoh pesantren dan Islam pedesaan (kyai), dimana 200.000 orang jawa dan 15.000 pihak Belanda (7000 di antaranya adalah orang “Indonesia”) meninggal—seperti diceritakan Peter Carey, penguasa Belanda benar-benar ditunjuki sebuah pengalaman traumatic kolektif dan pengingat kontemporer, yakni sebuah “kemarahan”  yang bisa diuntapkan oleh masyarakat pribumi ketika dimobilisasi oleh elit-elit mereka di bawah “panji Islam”.

“Islam pribumi” di mata colonial merupakan hantu yang meneror dan merupakan “ancaman potensial” atas keberlangsungan dominasi kekuasaan politik-ekonomi Belanda, dan oleh karenanya “mata kolonial” Belanda tak mau melihat ketunggalan Jawa dan Islam ini atau mereka dengan usaha keras ingin menyangkalnya. Mengutip kalimat Nancy Florida,

“Oleh karenanya pertahanan konvensional para penjajah adalah dengan menolak, dan itu berarti dengan menyangkal dan mengalihkan realitas pengakuan agama Islam yang keluar dari mulut dan tindakan orang-orang Jawa yang mengimaninya tersebut. Meskipun orang-orang Jawa menyakini diri mereka sebagai muslim dan meskipun praktik-praktik lahiriah dan publik mereka tampak membenarkan ‘pengakuan iman mereka’, kekuasaan penjajah berharap bisa menyangkal kebenaran yang tampak tersebut.”
Saya akhirnya, dari pembacaan ini, bisa sedikit mengerti dan memberi konteks pemaknaan ihwal deretan pemberontakan baik yang dilakukan Surapati, Trunojoyo, maupun peristiwa pembunuhan berdarah serta penyunatan massal (baca: Sunat, Jawa: selam/islam) tentara Belanda saat terbunuhnya Kapten Tack. Islam dengan gradasi penghayatannya, sebenarnya telah menjadi identitas penyatu masyarakat Jawa, yang oleh karenya dengan bersamaan secara natural menegasi dan menempatkan “penjajah” Belanda di ruang seberang dengan sebutan “landa kapir”. Sehingga jika ada “kemesraan tertentu” yang dipertontonkan oleh kekuasaan Mataram yang mengarah pada ketertundukan ontonomi kekuasaan, momentum pemberontakan Jawa hanya perlu menunggu pecahnya. Dan kita tahu, puncak dari sentiment “kapir landa” (Kafir Belanda) berkulminasi pada prang sabil Diponegara.

Setelah perang besar itu, menurut catatan Sunyoto, yakni sekira 1880-an ke atas hampir terjadi ratusan pemberontakan kecil—yang telah kehilangan sosok pimpinan pangeran (Keraton) yang telah tunduk—yang didorong semangat ke-Islaman tarekat, seperti yang salah satunya yang diteliti oleh Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang masyhur itu. Identitas Islam di masa itu saya kira benar-benar tak bisa dibedakan dengan keberadaan sentimen suku-bangsa yang dalam spectrum tertentu terjadi pada sebagian suku-bangsa lain di Nusantara, baik pada masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, Lombok, dll. Bahkan orang Tengger yang oleh para pengkaji Jawa sering disebut sebagai pusat pelarian terakhir orang Hindu Majapahit, jika ditanya apa agamanya, konon (?) pernah menjawab: “agama selam”.

Keengganan “mata kolonial” untuk melihat Islam Pribumi dan usaha keras untuk menyangkalnya di kemudian hari, ditandai oleh munculnya sebuah disiplin yang belakangan hari kita kenal dengan nama studi “Javanologi”, yakni persis setelah berakhirnya perang Jawa—dimana kekuasaan Jawa benar-benar secara factual berada dalam sistem Penjajahan.  Sebagai sebuah displin baru, Javanologi berusaha secara keras “menyangkal” fakta keber-Islam-an pribumi yang dianggap “asing”, “revolusioner”, “tidak jinak” dan “tidak Jawa”, dan dengan serentak mengembangkan penelitian arkeologis dan filologis yang menciptakan sebuah imaji kejawaan ‘jinak’ yang terpaut masa lalu Jawa yang jauh di masa Hindu-Budha zaman pra-Islam Majapahit .

Ringkasnya, Belanda dengan disiplin Javanologi-nya, yakni dengan membentuk Institut Budaya dan Bahasa Jawa (Het Instituut voor de Javaansche Taal) di tahun1832 yang didirikan di Surakarta —lembaga yang akan menjadi cikal bakal lembaga pengkajian Jawa dan Nusantara di Delf, maupun berikutknya di Leiden—berusaha keras untuk menciptakan imaji “Jawa asli” atau “Jawa essensial” yang belum terkontaminasi oleh unsur ‘asing’ bernama Islam. Dari Institut yang dikepalai seorang seorang duta penting anggota penginjilan Belanda (Nederlandsch Bijbelgenootschap) J.F.C. Gericke (1799-1857) itu beberapa kamus tentang Jawa dan Melayu dibuat, penulisan babad tanah Jawi secara baru diselenggarakan, dan tumpukan manuskrip kesusatraan Jawa mulai terus-menerus dikumpulkan, dikaji, dan didefinisikan ulang. Otoritas keilmuan Jawa harus beralih kepada kaum penjajah, agar seperti kasus pemerintah Inggris di Bengal (India), penguasaan bahasa, sejarah, hukum, dan kebiasaan rakyat pribumi yang dimiliki, berguna bagi pejabat colonial Belanda untuk menjadi alat—meminjam kata-kata Scricke dalam laporannya kepada Pemerintah Kolonial Belanda terkait pendirian Institut itu—“memerintah (mengelola) dan berhubungan” dengan rakyat jajahan.

Pembentukan Jawa essensial ini menyiratkan asumsi sederhana, bahwa kedatangan Islam berarti interupsi dan perusakan atas “kegemilangan” Jawa (yang dikhayalkan) essensial di masa kejayaan Jawa Hindu-Budha Majapahit. Islam adalah perusak Jawa, oleh karenanya ia dipandang “tidak Jawa”. Di lain waktu misalnya saya menemui konfirmasi atas asumsi ini, dalam sebuah mahakarya kanon sejarah sastra Jawa dari seorang Orientalis papan atas, Theodore Pigeaud, “Literature of Java I & II” (1967).

Pigeaud dalam karya itu membuat sketsa gambar dimana (1) Kesusatraan Jawa mengalami puncak sofistikasi dan nilai estetiknya pada masa lalu pra-Islam, dengan segenap warisan tulisan kawi (Kakawin) kunonya Zaman Hindhu-Budha Majapahit dan sebelumnya, (2) lalu datang interupsi kedatangan Islam di awal abad 15-an awal dengan sastra pasisir-nya yang aneh dan asing, (3) hingga munculnya sebuah kebangkitan baru yang oleh Pigeaud disebut sebagai “Reneisance Kesusastraan Jawa” di keraton Surakarta abad 18-19 dengan tokoh terkemuka Yasadipura dan Ronggawarsita.

Masa renaissan kesusasteraan ini dibayangkan sebagai sebuah era kebangkitan baru, dimana para pengarang Jawa menulis, membangkitan kembali, dan menggubah Kakawin bertema ‘India’ ke dalam genre penulisan baru dalam bentuk serat, suluk, babad, dan wirid. Sebuah tema yang mengingatkan sifat “adiluhung” yang dikhayalkan oleh para Javanici.

Reneisan ini benar-benar dipandang telah mengekspresikan dirinya di puncak kesempurnaannya pada penerjemahan karya klasik kakawin jawa kuno oleh para penyair-penyair istana, dalam bentuk bait-bait sastra Jawa, setelah masa intrusi asing Kerajaan Islam di pasisir. Reneisans ini oleh Theodore Pigeaud digambarkan dalam sebuah kalimatnya bernada optimis,

“Perubahan minat para sarjana Jawa dari teks Islam ke kakawin Jawa Kuno, dan perkembangan lanjut kesusateraan Keraton Surakarta di abad 18 dan 19, serupa dengan kelahiran kembali kesusateraan Jawa kuno. Efeknya, karena para pujangga akhirnya berbelok dari Islam asing ke asal Jawa Hindu-budha aslinya, (dan) puisi Jawa telah lahir.”
Ini titik penting, saat saya mulai menyadari bahwa pengetahuan selalu terpaut dengan politik, tepatnya politik kebudayaan dalam kasus ini. Imaji reneisan kesusateraan Jawa meski masih menjadi narasi umum bagi dunia akademisi kita, sebenarnya telah mendapat sanggahan kerasnya baru di akhir abad 21, yakni setelah terbitnya dua buah karya Nancy K. Florida, Javanese Literature in Surakarta Manuscripts, Volume I, II, & III (2000& 2012).

Dalam karya tersebut, orang Barat pertama yang menerima gelar ningrat Keraton Surakarta dengan sebutan Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Budayaningtyas itu benar-benar melakukan pekerjaan “gila”, yakni mendokumentasikan naskah-naskah Jawa kuna yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta, Istana Mankunegaran, dan Perpustakaan Radya Pustaka. Sekira mulai dari tahun 1980, gadis kelahiran Evansville, Indiana (Amerika) itu bergelut dengan melibatkan hampir tiga perempat juta halaman manuskrip.

Temuan Doktor Cornell itu benar-benar meruntuhkan dan melawan tesis Pigeaud, yang awalnya membuat saya tambah gelisah itu. Dari hasil penanganan katalogisasinya tiga koleksi keraton itu, ia menemukan 1450 judul dari koleksi yang terdapat di dalamnya, hanya terdapat 17 karya gubahan klasik Kawi kuno ke bait tembang Jawa Modern yang disebut-sebut menandai “reneisan” yang terkemuka itu. Ini hanya mencakup 1 persen. Berkebalikan dengan 17 karya tersebut, terdapat hampir 500 judul yang lebih jelasnya merupakan ragam kesusasteraan Islam, yakni lebih dari sepertiga dari seluruh koleksi secara bulat. Pendeknya, untuk setiap karya yang diduga sebagai “karya klasik India”, malah terdapat 30 teks yang justru jelas-jelas Islam dalam isinya. Kesarjanaan colonial, ungkapnya, telah benar-benar “gagal melihat” signifikansi melimpahnya inskripsi Islam tersebut, dan dengan sengaja berusaha menegasikannya.

Bahkan saya sempat berjingkrak dan memekik bahagia, saat dalam sebuah wawancara nya Kompas, Minggu, 22 Maret 2009, Ia meringkaskan temuannya yakni dari 500 naskah di Keraton Surakarta, hanya 17 yang “berbau” Hinduisme. Selebihnya Islam. Keraton Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, yang selama ini dicitrakan Hinduistik, itu benar-benar sebuah ilusi yang dikhayalkan. Dengan raut sumringah setelah menyelesikan wawancara itu, Saya seolah telah menemukan setengah jawaban yang selama ini saya cari. Saya merasa telah menemukan setengah diri saya.

Ia, dalam sebuah tulisan lain, bahkan secara sangat bagus menunjukkan bagaimana para Pujangga yang dijadikan tonggak “reneisans” itu, Yasadipura I, II, maupun Ranggawarsita, maupun kalangan berpengaruh di dalam keraton, termasuk para penasihat spiritualnya, umumnya mendapatkan pendidikan agama di pondok pesantren. Seperti Yasadipura I yang menghabiskan masa belajarnya di pesantren dengan Kyai yang bernama Anggamaya di daerah Kedu-Bagelen, juga Yasadipura II yang ngaji di Pesantren Tegalsari Ponorogo, Kyai Kasan (Imam) Besari, maupun Ronggawarsita yang setelah menyeleseikan ngaji-nya di pesantren yang sama dijalani kakek-nya itu, ia menikmati masa pendidikan santri yang kurang formal, dengan berkeliling dari pesantren ke pesantren di seluruh Jawa Timur, dan kemudian ke sebuah pertapaan pandita hindu di Bali. Puluhan karya suluk yang sebenarnya berarti tembang sufistik Jawa, sesuai term suluk itu berasal, yang mengaitkan keterkaitan pesantren dan Islam di Jawa masa itu, seperti suluk burung-nya Yasadipura I yang menjelaskan lapis-lapis kesempurnaan dalam diri manusia yang hanya dicapai melalui Tuhan. Yakni sebuah eksposisi esoteric yang ingin mendamaikan tegangan Islam Jawa dan mistisisme yang berbeda yang waktu itu masih memiliki bekas. Juga serat ambiya yang menceritakan genealogi kehidupan semesta dari tokoh nabi Yusuf, atau serat musa yang memaparkan sejarah panjang nabi musa.  

Atau kita juga bisa melihat karya agung Serat Centhini yang terkenal karangan Yasadipura II, yang sebenarnya lebih tepat ditempatkan sebagai karya dalam genre tembang sufistik Jawa suluk (baca: Suluk Tambangraras). Sebuah mahakarya yang merupakan—meminjam bahasa Nancy Florida—“kumpulan indah akan ngelmu dari dunia pesantren Jawa yang kaya di abad 19 awal”. Salah satu anak Yasadipura II terlibat sejarah konspirasi pemberontakan membela Pangeran Diponegara yang membuatnya diasingkan di Batavia hingga mati, sedangkan anak yang kedua pernah tercatat sebagai murid tarekat Syattariah yang taat. Apalagi pujangga panutup Ronggawarsita dengan prosa tapel adam-nya (babad Tapel Adam) yang mencari asal-usulnya pada masa lalu Islam dari mulai proses penciptaan semesta melalui jalur Nabi Muhammad. Juga Kaol saking kitab Musarar kitab karanganya, yang menuliskan sejarah Jawa secara bolak-balik dalam bingkai Islam. Yakni, kembali ke masa penduduk manusia pertama di bumi dan maju hingga “Hari pengadilan” seperti diceritakan dalam Al Quran. Atau terkait nama “seh samsu jen” sebagai salah satu guru prabu Jayabaya yang dikenal dengan ramalannya, dalam serat Kalatidanya-nya. Yang paling utama, Ranggawarsita juga mengarang naskah bergenre wirid yang terkenal dengan nama serat wirid hidayat Jati—sebuah mahakarya yang kata pengarangya hanya menyarikan ajaran para wali tanah Jawi—yang sering dikenal sebagai sebuah buku teks babon esoterisme Islam Jawa dan merupakan pegangan praktik mistik Islam yang dikenal luas oleh masyarakat.

Lalu bagaimana saya menjelaskan ke-islaman, atau tepatnya corak ke-Islam-an masyarakat Jawa lama yang berusaha disangkal dan sengaja “tidak dilihat” oleh mata colonial ini?

Saya mendapat sedikit clue, lagi-lagi melalui Nancy, bahwa Islam (di keraton) lebih bercorak sufi dan oleh karenaya lebih fleksibel menerima baju kebudayaan lain tanpa kehilangan nafas “tokid”-nya (baca: I’tiqad/tauhid), sedangkan corak ke-Islaman kita sekarang memang cenderung menekankan syariat, oleh karenanya susah menerima standar ‘budaya’ yang lain. Ini persis seperti diafrimasi Woorward dalam “Islam in Java” (1997), bahwa Islam merasuk begitu cepat ke dalam jantung dan struktur masyarakat Jawa, dipeluk erat oleh keraton untuk membangun konsep Negara teokratik. Sufisme (mistik Islam) benar-benar telah menggeser inti kepercayaan lama, dan akan memberi legitimasi yang kukuh ihwal teori ke-rajawian Jawa yang bercorak hirarkis. Dalam sebuah kata-katanya yang blaka, “agama masyarakat Jawa adalah Islam sebab aspek-aspek doktrin Islam (esoterisme Islam) telah mengganti Hindhuisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan”.

Atau jika sedikit mau lebih gigih mencari, narasi ini juga dengan mudah bisa ditemukan pada kalimat orientalis papan atas seperti Marsal Hodgsons, “The Venture of Islam” (1974) jilid 3—seorang pakar ke-Islam-an yang dipuja keras oleh begawan Nurcholis Madjid itu, “seandainya Islam Jawa dipandang dari perspektif tradisi muslim secara keseluruhan, dan bukan dari polemik reformisme modern, tentu akan bisa ditemukan di sana adanya kesamaan yang mencolok dengan Islam timur tengah dan Asia selatan (di masa itu).”

Dalam sebuah gambaran yang lebih ringkas—mengutip wawancara Nancy Florida (Kompas: 2003) “apa yang disangka sebagai elemen Hindhu yang terdapat dalam kebudayan keraton Jawa, sebenarnya adalah tasawuf”. Setelah pergulatan yang memaksa saya lebih dalam menyelam dalam timbunan manuskrip berbahasa Jawa di abad 15-18, saya bertemu dengan affirmasi yang menenangkan. Yasadipura II sebenarnya telah memberi panduan dalam bait-bait tembangnya di Serat Cebolek,

Punapa malih rasaning Kawi            Apalagi “rasa”-nya (makna) Kawi
Bima Suci kalihan Wiwaha               Bima Suci dan Arjuna wiwaha
Pan sami keh sasmitane                    Sungguh penuh pralambangnya
Ngenting rasaning ngelmu               Sebuah “makna” ilmu yang sangat dalam
Yen patitis kang mardikani               Jika tepat (dalam) menguliti maknanya
Kadyangga Kawi Rama                      Seperti halnya Kawi Rama
Punika tesawuf                                  Itu merupakan (karya) Tasawuf

Kalimat dalam bait tembang (macapat) indah itu keluar dari pena seorang pujangga, yang menurut kesaksian cucunya Ranggawarsita, di tiap malam-malamnya yang hening meneggelamkan diri dalam pembacaan dan penulisan suluk.

Lalu bagaimana saya, lelaki yang telah berjalan kelewat jauh dan sentimental itu, menjelaskan terbelahnya Islam Jawa ke dalam tiga varian yang sering didiktekan oleh tokoh semisal Clifford Geertz dalam trikotomi santri, abangan, priyayi? Bagaimana saya menjelaskan warisan Islam Jawa yang setidaknya hingga masa terpisahnya Jawa ke dalam dua kerajaan besar, Kasunanan dan Kasultanan (palihan nagari), telah menjadi perekat masyarakat Jawa sebagai sebuah ‘bangsa’? Atau dengan penjelasan macam apa Islam Jawa yang dulu menjadi “aksioma kebudayaan” yang benar-benar menyatukan identitas pandangan dunia Jawa tersuruk dan mengekrut menjadi “kejawen”, yang terklaim menjadi ciri identitas kelompok kecil dalam sebuah payung “aliran kebatinan” atau “kepercayaan” yang sebenarnya baru muncul pertama kalinya di tahun 1930-an? Tubuh saya benar-benar semakin bertambah berat.
***

Dalam sebuah karyanya, yang sayangnya saya temukan belakangan, M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A history of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (EastBridge, 2006), mengakui—yang sekaligus menjadi salah satu kesimpulan utamanya, bahwa Islam sebagai basis pembentukan identitas, dan sekaligus jadi sumber tegangan, dan atau bahkan sumber konflik bagi ‘bangsa Jawa’, akhirnya setidaknya hingga perjanjian Giyanti (1755), telah diterima sebagai agama resmi, sekaligus identitas kejawaan yang mantap. Sejarawan ini menyebut Islam nya orang Jawa di masa itu sebagai “Mystics Synthesis”, dimana keberagamaan masyarakat Jawa ditandai, pertama, penerimanaan identitas Islami sebagai elemen intrisink dalam pengalaman menjadi Jawa; kedua, komitmen atau ketaatan untuk menjalankan kelima pilar rukun Islam; dan, akhirnya, ketiga penerimaan terhadap berbagai kekuatan, daya rohani, maupun deretan figur-figur wali local juga kekuatan “berkah” manusia “keramat”maupun kekuatan adrikodati lokal, seperti sunan kalijaga, sunan geseng, Nyai Roro Kidul maupun Sunan Lawu, atau yang lain.

Saya sebenarnya sangat ingin memberi catatan atas keterangan Ricklefs ini, yang bagi saya menyulut nada dan impresi peyoratif yang bisa muncul dari term yang ia sodorkan. Namun, apalah saya. Untuk sementara saya lewati dulu.

Kita tahu sejak kekalahan Perang Jawa (1825-1830), seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Kolonialisme benar-benar memiliki projek sistematis untuk menegasi keislaman orang Jawa, atau setidaknya mendegradasi signifikansi Islam pribumi dalam sebuah bingkai sebagai sesuatu yang asing, impor, “sinkretik”, dan “tidak Jawa” yang merongrong stabilitas kekuasaan colonial. Pembentukan lembaga Javanologi-nya di tahun 1832 diniatkan untuk menciptakan suasana nyaman dan “lingkungan jinak” benteng tebal kebudayaan di keraton yang kedap dari pengaruh Islam yang “revolusioner”, “tidak Jinak”, dan “intrusif” bagi kuasa colonial dalam sebuah imaji kebudayaan “adiluhung” yang dikhayalkan terpaut masa lalu lama di zaman Majapahit yang Hindu-Budha. Secara sederhana, dengan bantuan disiplin arkeologi dan filologi, pusat Javanologi baru ini ingin mencipta tata “Jawa essensial” di lingkungan priyayi keraton, dengan mendefiniskan ulang kejawaan yang terpaut masa lalu pra-Islam, yang dengannya kekuasaan colonial mendapat stabilitas kuasa-nya.

Dari keterangan Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions (c.1830-1930)”(2007), saya akhirnya menemukan gambar atau semacam peta yang menjelaskan pemebelahan atau pengkutuban masyarakat Jawa ke dalam beberapa varian kelompok yang saling menyerang, menegasi, dan menyangkal. Momen yang begitu menentukan itu terjadi saat diterapkan system tanam paksa (coersed drudgery) di tahun 1830 (tepat setelah kekalahan perang Jawa) atau sering dinamakan Culturstelsel juga selanjutnya system Politik Etis sekira di awal tahun 1900 yang lambat laun akan menggusur pendidikan lama para bangsawan maupun rakyat jelata (pondok atau pesantren) yang menyangga universum pengetahuan dan pandangan dunia lama Jawa, berganti dengan sebuah system pendidikan “modern” baru yang dikenalkan oleh Belanda.

Dalam konteks system tanam paksa Cultuurstelsel, untuk kali pertamanya masyarakat Jawa yang memang secara lumrah terbagi dalam beberapa stratifikasi sosial, digeret ke dalam sebuah polarisasi yang “saling konfrontatif” dalam konteks relasinya dengan kekuasaan, dan praktik pengerukan sumber daya alam. Saya akhirnya tahu, (1) para bangsawan Jawa benar-benar dijadikan “pejabat sipil” yang menjadi “mesin birokrasi” kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal politik eksploitasi tanam paksa (priyayi), (2) para pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan cash money seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan, India, yang sebagian telah terpengaruh ide-ide modernism dalam jaringan internasional, yakni setelah dipaksa bercerai dengan kebudayaan keraton paska Perang Jawa (putihan), atau (3) para petani sebagai subjek tertindas politik tanam paksa secara keseluruhan, yang telah kehilangan naungan kepemimpinan baik para aristocrat keraton maupun sebagian tokoh agama (Islam tradisional) mereka (abangan).

Usaha colonial untuk menciptakan suasana “nyaman” para bangsawan Jawa—alias “jinak” terhadap kuasa colonial, yang secara bersamaan kedap dari pengaruh Islam, benar-benar mendapatkan puncak kulminasinya di era pendidikan politik Etis (MULO, HIS, Stovia), dimana para elite Jawa menjadi semakin merasa aman dalam posisi mereka ketimbang tahun-tahun penuh gejolak, kekerasan, dan perang pada zaman kerajaan sebelum masa colonial. Begitu yang dikatakan Ricklefs. Para priyayi benar-benar semakin terserap ke dalam pendidikan dan kebudayaan Belanda, yang akhirnya semakin mencerabut mereka dari akar Islam “esoteric” Jawa-nya, dan selanjutnya (sebagian) berusaha keras menautkan diri pada ke-Jawaan pra-Islam dalam naungan gerakan Theosofi sebagai aliran arus zaman baru. Atau dalam kasus “rakyat Jelata”, mulai tumbuh subur sebuah corak keagaman baru dalam payung “aliran Kebatinan” atau “Kejawen” yang muncul di tahun 1930-hingga 1960-an, yang berusaha memisahkan dari bangun resmi Islam yang telah telah ditubuhkan oleh para wali tanah Jawi.

Saya akhirnya bisa memaklumi dan sedikit bisa merasa apa yang sedang digelisahkan oleh sosok macam Kartini, atau gerakan Budi Utomo yanhg berusaha membangkitakan “agama budi” Jawa lama sesuai ramalan sabdo palon, atau juga usaha pendirian “pondok” (bandingkan: Pondok pesantren) “Taman Siswa” yang digelar oleh Ki Hajar Dewantoro. Polarisasi masyarakat Jawa ini benar-benar bisa dilihat pada spectrum ‘aliran” pergerakan nasional di masa sebelum kemerdekaan, juga politisasi “aliran” keagamaan pada pemilu 1955, maupun pada masa puncak meletusnya konflik berdarah “1965”, sebagai sebuah runtutan politik kebudayaan “pecah-belah” Kolonial yang berakar di masa lalu.
***

Lamat-lamat saya mulai menemukan gambar kasar ihwal kejawaan dan ke-Islam-an, yang menggeret saya dalam sebuah pergulatan dan pencarian menggelisahkan dan sekaligus menguras. Kejawaan Islam yang akrabi dulu di sebuah dusun kecil di wilayah mataraman dengan tradisi wayang, kenduri, ruwah, dan tembang-tembang pujian sore di di sebuah langgar rapuh, akhirnya merangkai dalam sebuah gambar makna yang sedikit membuat “penuh” diri. Gambar yang setengah saya temukan itu, ternyata tak membuat pergulatan diri saya berhenti. Justru ia, lagi-lagi menarik saya memutuskan—setelah setengah kepercayaan saya yang tak saya dapatkan dari karya kesarjanaan Orientalis—untuk tenggelam dalam manuskrip-manuskrip Jawa lama abad 16 hingga 19, dan sayangnya berbagai “temuan” maupun “pertemuan” intimnya, sebenarnya ingin saya bagi hari ini. Namun keterbatasan waktu yang diberikan, memaksa saya harus rela menundanya untuk lain waktu dan kesempatan.

Namun, saya sekarang tahu—setidaknya untuk sedikit meringkaskan—bahwa saya memang sedang dalam sebuah “perjalanan”, atau suluk, alias lelaku. Sebuah istilah yang telah dioperasionalkan oleh para wali tanah Jawi untuk menamai genre tembang (macapat) yang menyampaikan ajaran esoteric sufi (Jawa)—sebagaimana term suluk berasal—yakni sebuah istilah untuk menggambarkan perjalanan “sangkan paran” manusia (baca: Innalillahi…) dari sejak berada dalam kandungan (maskumambang), lahir (mijil), muda (sinom) yang perlu tuntunan (kinathi), mencari pasangan (asmaradana), menikah (gambuh), merasakan pahit-getir kehidupan (dhandang gula), memberi bakti baik kepada masyarakat (durma), memungkuri atau membelakangi dunia alias tua (pangkur), sebelum berpisahnya raga dengan ruh (megatruh), hingga berujung kain kafan yang siap-siap menyelubungi manusia di liang lahat (pocung).

Sebuah tembang kehidupan, yang mengajari “mulat sarira” alias mengawasi “diri rendah” kita sendiri yang berjumlah empat itu, alias “membaca empat” (macapat) unsur nafsu diri yang bisa membelokkan diri dalam “perjalanan”, laku, atau suluk (sedulur papat lima pancer). Sebuah genre tembang yang tidak akan anda temui di masa Majapahit. Atau juga sebuah tembang yang telah disederhanakan dalam bentuk pengajaran moral didaktis keseharian dalam bentuk tulis bernama “serat” (baca: Arab surah) yang dipandu dengan amaliah ruhani bernama (genre tembang) “wirid” (layaknya bacaan wirid setelah sembahyang), yakni sebagai bekal untuk mengenali kedirian kita yang telah tertanam secara historis dan particular dalam sebuah rantai genealogi masyarakat Jawa yang bersambung dalam genre “babad”.

Semua pergulatan diri untuk mencapai “kesempurnaan” diri atau janma utama (baca: insan kamil) ini—yang oleh para wali dan pujangga tanah Jawi sering disebut ilmu “kasidan Jati” (“kesempurnaan sejati”, seperti makna pada kata purnama sidi, bulan sempurna), atau disebut ngelmu kasampurnan, atau seperti tertera di dalam Centhini maupun Kitab Bonang disebut sebagai ngelmu makripat—tergelar secara megah dalam pagelaran wayang kulit purwa. Sebuah produk kebudayaan dari hasil olah budi atau olah diri, yang bahkan orang macam Theodore Pigeaud dalam “Literature Java” nya tidak kuasa menyangkal akan peranan para wali dan para sunan tanah Jawi sebagai “pencipta”-nya.

Wayang dengan peradaban gending dan susastranya, seperti dinarasikan implisit oleh para Wali, menggelar layar “kelir” kehidupan manusia yang bergulat dalam “perang besar” mengalahkan 100 watak buruk dalam dirinya (Kurawa), yang muncul dari perangkat  pancadriya-nya (Pandawa) yang menjadi tugasnya di alam sakalir ini yang akan mengantarkan lelakon anda pada puncak pengetahuan—seperti dikatakan dalam serat wedhatama, “ngelmu iku kelakone kanthi laku”—bahwa seluruh lelampahan dan realitas hidup ini adalah hanya merupakan epifani tuhan yang tergelar dalam jagad pramuditya bahwa “ora ana apa-apa kejaba dudu” (tak ada apa-apa kecuali yang bukan). Sebuah rumusan ontologis yang selaras dengan tauhid: La maujuda illa llah.

Karena hanya dari diri yang telah menundukkan diri-rendahnya dalam sebuah kondisi hati yang sudah menep dan rasa yang telah bening (rasa wening) manusia dengan pengetahuan itu (ngelmu) bisa menebar kebaikan (nyantosani), memberantas keburukan (pangekese dur angkara), dan mempercantik semesta menjadi rahmat bagi manusia di bumi (memayu hayuning bawana). Karena tanpa lelaku seperti itu—meminjam istilah Sultan Agung dalam serat sastra gending karangannya, kita, orang yang masih terbelit “ego” itu tidak mungkin dapat menyeleraskan gending dan sastra, dan “Jika gending telah rusak batal seluruh sembahyang kita”.
***

Palastra, akhirnya setelah pergulatan diri yang melelahkan, dan sayangnya saya masih ada di dalamnya, saya hanya sedikit tahu, bahwa saya (masih) sedang bergulat. Saya masih dalam sebuah “perjalanan”. Saya masih dalam sebuah “lelakon”. Saya pungkasi tulisan ini dengan mengutip Serat Rerepen yang ditulis oleh Pakubuwana X, dalam pupuh pangkur, sebagai proklamasi manunggal-nya Islam dan Jawa,

Narendra miwah Pujangga                          Raja beserta para pujangga
Wali lan Pandita jatine Kaki                         Para wali dan pandita sejatinya anakku
Karsaning kang maha Agung                       Atas izin (iradah) nya Allah
Gunggunging Islam Jawa                              Mengangung-agungkan Islam Jawa
Marmane langgengna tunggal loro iku       Maka jagalah kesatuan dwi-tunggal itu
Ja ana ingkang tinggal Jawa                         Jangan ada yang tinggal Jawa
Lan Ja ana adoh agami                                 Dan jangan ada yang jauh dari agama (Islam)

(Sri Pakubuwana X, Serat Rerepen, Pupuh Pangkur, pada ke 2)

Cepokojajar, Rabu, 21 Maret 2018.

*) Irfan Afifi, santri Pondok Pesantren Al Miftah Mlangi, Yogyakarta, alumnus jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
NB: Seluruh kutipan buku yang saya gunakan di dalam paper ini belum saya seebutkan dalam sebuah catatan kaki maupun daftar. Hal ini dikarenakan waktu yang terbatas yang terberi. Di lain waktu saya akan menyempurnakan tulisan agar bisa dirujuk sumber-sumber yang saya tulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar