Penulis: Virdika Rizky Utama
Penerbit: NUmedia Digital Indonesia, Jakarta
Cetakan: I, Januari, 2020
Tebal: xxi + 376 halaman
Ukuran:
14 x 21 cm
ISBN: 978-602-52-4206-9
Peresensi: Mukani **
Membincang nama Gus Dur seolah
tidak ada habisnya. Meski sudah wafat sepuluh tahun lalu, kisahnya terus jadi
bahasan. Mulai diskusi ilmiah yang serius hingga cangkruk’an ringan di warung-warung kopi.
Ya, presiden keempat RI itu memang
meninggalkan banyak kenangan. Baik mereka yang berinteraksi langsung hingga
yang hanya mengetahui dari sumber-sumber literer ataupun media massa. Sosok
kontroversial ini membuktikan diri bahwa kaum tradisional mampu menjadi
pemimpin tertinggi di Indonesia. Dengan menjadi presiden, Gus Dur seolah
menegaskan bahwa “kaum sarungan” di negeri ini harus diperhitungkan.
Tidak heran jika kemudian kaum tradisionalis Islam banyak yang
berkunjung ke makam Gus Dur di Tebuireng Jombang. Berdasar catatan pengurus
makam, minimal 2.000 pengunjung setiap harinya. Suatu fenomena langka yang baru
terjadi di kolong jagat ini.
Fakta ini melampaui jumlah empat juta pentakziyah saat pemakaman
Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir yang memproklamasikan diri sebagai “murid”
Bung Karno. Bahkan saat prosesi pemakaman Presiden Amerika Serikat John F.
Kennedy (JFK). Untuk itu, sudah banyak pihak yang mengusulkan agar “prestasi”
ini dicatat di Guinnes Book of the Record.
Perilaku Gus Dur, di satu sisi, banyak dinilai orang sebagai nyeleneh. Sebagai perilaku yang “ganjil
dan aneh” dalam kaca mata orang awam. Tidak hanya di bidang keagamaan, di
bidang politik pun Gus Dur banyak nyeleneh
saat mengambil keputusan. Perlu beberapa waktu untuk memahami sepak terjang
yang ditujunya.
Dinamika Politik
Buku Virdika Rizky Utama berjudul Menjerat Gus Dur ini salah satunya. Penulis berhasil “memotret”
berbagai kisah kasih Gus Dur dalam memimpin pemerintahan. Meski tidak bertahan
hingga dua tahun, Gus Dur telah mampu meletakkan beberapa fondasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai kepala negara, Gus Dur mampu merawat kesatuan dari ancaman
disintegrasi. Meski dicibir para penentangnya karena sering pergi keluar
negeri, Gus Dur cuek. Bahkan dengan percaya diri menegaskan bahwa yang
dilakukannya demi keutuhan bangsa.
Gus Dur sering melakukan “akrobat politik” dalam menahan gempuran
dari para musuh politiknya. Meski di suatu titik Gus Dur berhasil dilengserkan,
namun fakta hukum berkata beda. Bahwa Gus Dur tidak pernah diperiksa, apalagi
disidangkan, terhadap dua skandal yang dituduhkan, Buloggate dan Bruneigate.
Pelengseran Gus Dur dari jabatan presiden murni dari gejolak politik saat itu
(hlm. 159).
Saat menjadi presiden, Gus Dur memiliki periode politik kekuasaan yang
tidak dapat menjadikan atau mewujudkan demokratisasi total di masyarakat.
Politik kekuasaan, terutama parlemen, masih berkutat kepada balas dendam
politik. Bagaimana tidak, PDIP selaku pemenang pemilu, tidak bisa menjadikan Megawati
sebagai presiden (hlm. 331).
Hal ini juga didorong oleh fakta politik bahwa perjalanan
pemerintahan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis memang tidak
mudah. Peralihan dari masyarakat konservatif yang mengutamakan stabilitas
menuju masyarakat terbuka merupakan sebuah langkah berat. Terlebih, untuk kasus
Indonesia, transisi tersebut berlangsung secara gradual dan masih melibatkan
unsur-unsur kekuatan rezim sebelumnya (hlm. 327).
Dalam buku ini juga dijelaskan secara detail tentang skenario yang
akan dilakukan dalam memuluskan rencana pelengseran Gus Dur dari jabatan
presiden. Mulai dari pembagian tugas oknum-oknum yang berada di dalam gedung
parlemen, hingga mereka yang berada dalam jejaring aksi massa. Nama-nama yang
disebut dalam dokumen itu hingga kini masih berkuasa di republik ini. Beberapa
bahkan masih menduduki pucuk pimpinan (hlm. 358-360).
Buku ini makin menegaskan adanya perlawanan yang serius dari “akrobat
politik” yang dilakukan Gus Dur selama menjadi presiden. Kekuatan-kekuatan
pro-demokrasi yang menyokong di belakangnya ternyata juga tidak solid. Itu
terlihat ketika Gus Dur hendak mengeluarkan dekrit presiden 23 Juli 2001.
Kondisi ini juga makin parah ketika TNI dan Polri tidak mendukung
dikeluarkannya dekrit (hlm. 306).
Dengan keadaan yang begitu compang-camping ini, dengan mudah para
musuh politik Gus Dur menjalankan rencananya. Mulai dari dilayangkannya surat
permohonan DPR kepada MA tentang dekrit, hingga didorongkannya Memorandum I dan
II, yang berujung digelarnya Sidang Istimewa MPR yang dipercepat. Kondisi ini
diperparah dengan aksi massa di luar gedung DPR yang diorganisasi secara
teratur (hlm. 289).
Pelajaran Berharga
Prof. Miriam Budiarjo (2003) menegaskan bahwa dalam politik tidak
hanya teori dan idealita. Politik merupakan kumpulan dari berbagai kebijakan
strategis yang diambil dalam sebuah proses dinamika. Berbagai indicator yang
digunakan sebagai parameter adalah perilaku dan aksi yang ditunjukkan
seseorang. Apa yang dialami Gus Dur hanya sebuah realita politik yang tidak
bisa dihindari.
Kekuatan lama yang masih kuat mencengkeram juga mendukung. Mereka
bertemu pada satu titik dengan kaum oportunis, yang sering berkoar sebagai
reformis. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi kekuatan politik Gus Dur
ketika itu yang “hanya” didukung PKB. Selebihnya adalah kekuatan
eskstra-parlementer berupa ormas, mahasiswa, LSM, kaum minoritas dan para
akademisi. Kaum inilah yang diidentifikasi oleh lawan politik Gus Dur sebagai
loyalis (hlm. 365).
Bagi para pengagum Gus Dur, kecintaan itu sering berada di luar
cakupan rasionalitas yang semestinya. Akibatnya, meminjam istilah Rudolf Otto
(1958), penerimaan ini lebih disebabkan oleh misterium tremendum fascinan. Artinya, sebuah rasa kekaguman luar
biasa terhadap misteri yang dahsyat. Kelompok ini cenderung menerima tanpa
cadangan terhadap apapun yang diartikulasikan Gus Dur, tetapi belum tentu
bersedia mengamini dan kemudian mempraktikannya sebagai laku praksis.
Ketergagapan nalar kebanyakan memahami alur berpikir Gus Dur,
menurut Masdar Hilmy (2014), sebenarnya merupakan wujud kesenjangan
epistemologis di antara keduanya. Kesenjangan tersebut terjadi karena lompatan
pemikirannya terlalu maju untuk umat dan bangsanya, bahkan zamannya. Selain
itu, sepanjang hidupnya Gus Dur lebih banyak mengedepankan aksi daripada
narasi, sehingga yang tampak di permukaan adalah kontroversi. Gus Dur nampaknya
telah membiarkan tindakannya itu sebagai teks terbuka yang multitafsir.
Salah satu cara untuk menyambung kesenjangan epistemologis antara
gugus pemikiran Gus Dur dengan nalar kolektif adalah menarasikan “cetak biru”
Gus Dur melalui kerja-kerja rasional. Pertama dan utama, harus mampu melihat
sosok Gus Dur bukan dari keagungan darah aristokrasi keagamaannya, tetapi lebih
kepada substansi argumentsi rasionalnya. Dalam konteks ini, pemikiran dan aksi
Gus Dur pada umumnya mengerucut kepada tiga aras nilai utama, (1) nilai-nilai
kemanusiaan universal, (2) imparsialitas keadilan, (3) impersonalitas
politik-kekuasaan. Ketiga nilai perenial inilah yang tidak henti-hentinya
diperjuangkan Gus Dur sepanjang hayatnya.
Tidak mengherankan jika kemudian Greg Barton (2000), dosen senior di
Deakin University, mengkategorikan Gus Dur sebagai sosok intelektual muslim non-chauvinis, sebagai figur yang
memperjuangkan diterimanya realitas sosial bahwa Indonesia itu beragam. Pada
titik tertentu, kecintaan Gus Dur yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya
tradisional dan doktrin Islam telah menjadikan Gus Dur sebagai sosok demokrat
liberal. Inilah faktor penting yang kemudian menjadikan Gus Dur sebagai tokoh
yang sangat getol membela kepentingan kaum minoritas. Sedangkan M. Syafi’i
Anwar (2015), tokoh Muhammadiyah, menulis bahwa Gus Dur tidak sekedar nyeleneh
dengan karakternya yang khas, tetapi juga news maker dari semua dimensi.
Perkataan dan perbuatan Gus Dur akan menjadi berita heboh jika sudah
menggelinding.
Jombang seharusnya sangat
bersyukur memiliki tokoh besar selevel Gus Dur. Sebagai kabupaten yang identik
dengan sebutan Kota Santri, warga Jombang sudah saatnya banyak belajar dari
prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh para tokoh besar dari daerah ini,
salah satunya Gus Dur. Kesederhanaan Gus Dur dalam
hidup sudah saatnya menjadi new spirit bagi para aparatur pemerintahan
ketika melayani rakyat, bukan selalu menuntut hak terlebih dahulu.
Netralitas Gus Dur dari ambisi kekuasaan patut ditiru oleh para
calon pemimpin negeri ini sebelum dan ketika terjun ke dunia politik praktis.
Sudah saatnya para elit di negeri ini tidak terjebak kepada pemenuhan aksesoris
sosial, seperti kekayaan, jabatan dan popularitas. Tetapi lebih berorientasi
kepada realiasasi dari konsep reformasi kultural secara substantif-filosofis.
Konsistensi Gus Dur untuk tetap menimba ilmu dari semua lapisan
masyarakat harus tetap dilestarikan guna membentuk karakter inklusif dengan open
mind sebagai ujung tombak. Keberanian Gus Dur untuk membela kepentingan
rakyat kecil dan kaum minoritas patut tetap dijaga dalam melakukan cheks and
balances terhadap jalannya pemerintah.
***
**)
Mukani, peminat buku, pegiat literasi dan pengelolal Griya Pustaka
Kayangan (GPK) Jombang. Alamat:
Desa Kayangan Gang 3 No. 14 Kecamatan Diwek Jombang Jawa Timur 61471. (HP/WA.
085704280931). Rekening BRI Unit Cukir Jombang Nomor: 3638-01-010832-53-2 atas
nama Mukani. NPWP: 89.968.693.5-655.000.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/gus-dur-dan-akrobat-politik/https://selasastrain.blogspot.com/2020/02/de-gusdurisasi-dan-kolor-kekuasaan.html
https://selasastrain.blogspot.com/2020/02/rasanrasan-boengaketjil-3.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar