Kamis, 13 Februari 2020

Gus Dur dan Akrobat Politik *

Judul buku: Menjerat Gus Dur
Penulis: Virdika Rizky Utama
Penerbit: NUmedia Digital Indonesia, Jakarta
Cetakan: I, Januari, 2020
Tebal: xxi + 376 halaman
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-52-4206-9
Peresensi: Mukani **

Membincang nama Gus Dur seolah tidak ada habisnya. Meski sudah wafat sepuluh tahun lalu, kisahnya terus jadi bahasan. Mulai diskusi ilmiah yang serius hingga cangkruk’an ringan di warung-warung kopi.

Ya, presiden keempat RI itu memang meninggalkan banyak kenangan. Baik mereka yang berinteraksi langsung hingga yang hanya mengetahui dari sumber-sumber literer ataupun media massa. Sosok kontroversial ini membuktikan diri bahwa kaum tradisional mampu menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia. Dengan menjadi presiden, Gus Dur seolah menegaskan bahwa “kaum sarungan” di negeri ini harus diperhitungkan.

Tidak heran jika kemudian kaum tradisionalis Islam banyak yang berkunjung ke makam Gus Dur di Tebuireng Jombang. Berdasar catatan pengurus makam, minimal 2.000 pengunjung setiap harinya. Suatu fenomena langka yang baru terjadi di kolong jagat ini.

Fakta ini melampaui jumlah empat juta pentakziyah saat pemakaman Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir yang memproklamasikan diri sebagai “murid” Bung Karno. Bahkan saat prosesi pemakaman Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy (JFK). Untuk itu, sudah banyak pihak yang mengusulkan agar “prestasi” ini dicatat di Guinnes Book of the Record.

Perilaku Gus Dur, di satu sisi, banyak dinilai orang sebagai nyeleneh. Sebagai perilaku yang “ganjil dan aneh” dalam kaca mata orang awam. Tidak hanya di bidang keagamaan, di bidang politik pun Gus Dur banyak nyeleneh saat mengambil keputusan. Perlu beberapa waktu untuk memahami sepak terjang yang ditujunya.

Dinamika Politik

Buku Virdika Rizky Utama berjudul Menjerat Gus Dur ini salah satunya. Penulis berhasil “memotret” berbagai kisah kasih Gus Dur dalam memimpin pemerintahan. Meski tidak bertahan hingga dua tahun, Gus Dur telah mampu meletakkan beberapa fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai kepala negara, Gus Dur mampu merawat kesatuan dari ancaman disintegrasi. Meski dicibir para penentangnya karena sering pergi keluar negeri, Gus Dur cuek. Bahkan dengan percaya diri menegaskan bahwa yang dilakukannya demi keutuhan bangsa.

Gus Dur sering melakukan “akrobat politik” dalam menahan gempuran dari para musuh politiknya. Meski di suatu titik Gus Dur berhasil dilengserkan, namun fakta hukum berkata beda. Bahwa Gus Dur tidak pernah diperiksa, apalagi disidangkan, terhadap dua skandal yang dituduhkan, Buloggate dan Bruneigate. Pelengseran Gus Dur dari jabatan presiden murni dari gejolak politik saat itu (hlm. 159).

Saat menjadi presiden, Gus Dur memiliki periode politik kekuasaan yang tidak dapat menjadikan atau mewujudkan demokratisasi total di masyarakat. Politik kekuasaan, terutama parlemen, masih berkutat kepada balas dendam politik. Bagaimana tidak, PDIP selaku pemenang pemilu, tidak bisa menjadikan Megawati sebagai presiden (hlm. 331).

Hal ini juga didorong oleh fakta politik bahwa perjalanan pemerintahan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis memang tidak mudah. Peralihan dari masyarakat konservatif yang mengutamakan stabilitas menuju masyarakat terbuka merupakan sebuah langkah berat. Terlebih, untuk kasus Indonesia, transisi tersebut berlangsung secara gradual dan masih melibatkan unsur-unsur kekuatan rezim sebelumnya (hlm. 327).

Dalam buku ini juga dijelaskan secara detail tentang skenario yang akan dilakukan dalam memuluskan rencana pelengseran Gus Dur dari jabatan presiden. Mulai dari pembagian tugas oknum-oknum yang berada di dalam gedung parlemen, hingga mereka yang berada dalam jejaring aksi massa. Nama-nama yang disebut dalam dokumen itu hingga kini masih berkuasa di republik ini. Beberapa bahkan masih menduduki pucuk pimpinan (hlm. 358-360).

Buku ini makin menegaskan adanya perlawanan yang serius dari “akrobat politik” yang dilakukan Gus Dur selama menjadi presiden. Kekuatan-kekuatan pro-demokrasi yang menyokong di belakangnya ternyata juga tidak solid. Itu terlihat ketika Gus Dur hendak mengeluarkan dekrit presiden 23 Juli 2001. Kondisi ini juga makin parah ketika TNI dan Polri tidak mendukung dikeluarkannya dekrit (hlm. 306).

Dengan keadaan yang begitu compang-camping ini, dengan mudah para musuh politik Gus Dur menjalankan rencananya. Mulai dari dilayangkannya surat permohonan DPR kepada MA tentang dekrit, hingga didorongkannya Memorandum I dan II, yang berujung digelarnya Sidang Istimewa MPR yang dipercepat. Kondisi ini diperparah dengan aksi massa di luar gedung DPR yang diorganisasi secara teratur (hlm. 289).

Pelajaran Berharga

Prof. Miriam Budiarjo (2003) menegaskan bahwa dalam politik tidak hanya teori dan idealita. Politik merupakan kumpulan dari berbagai kebijakan strategis yang diambil dalam sebuah proses dinamika. Berbagai indicator yang digunakan sebagai parameter adalah perilaku dan aksi yang ditunjukkan seseorang. Apa yang dialami Gus Dur hanya sebuah realita politik yang tidak bisa dihindari.

Kekuatan lama yang masih kuat mencengkeram juga mendukung. Mereka bertemu pada satu titik dengan kaum oportunis, yang sering berkoar sebagai reformis. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi kekuatan politik Gus Dur ketika itu yang “hanya” didukung PKB. Selebihnya adalah kekuatan eskstra-parlementer berupa ormas, mahasiswa, LSM, kaum minoritas dan para akademisi. Kaum inilah yang diidentifikasi oleh lawan politik Gus Dur sebagai loyalis (hlm. 365).

Bagi para pengagum Gus Dur, kecintaan itu sering berada di luar cakupan rasionalitas yang semestinya. Akibatnya, meminjam istilah Rudolf Otto (1958), penerimaan ini lebih disebabkan oleh misterium tremendum fascinan. Artinya, sebuah rasa kekaguman luar biasa terhadap misteri yang dahsyat. Kelompok ini cenderung menerima tanpa cadangan terhadap apapun yang diartikulasikan Gus Dur, tetapi belum tentu bersedia mengamini dan kemudian mempraktikannya sebagai laku praksis.

Ketergagapan nalar kebanyakan memahami alur berpikir Gus Dur, menurut Masdar Hilmy (2014), sebenarnya merupakan wujud kesenjangan epistemologis di antara keduanya. Kesenjangan tersebut terjadi karena lompatan pemikirannya terlalu maju untuk umat dan bangsanya, bahkan zamannya. Selain itu, sepanjang hidupnya Gus Dur lebih banyak mengedepankan aksi daripada narasi, sehingga yang tampak di permukaan adalah kontroversi. Gus Dur nampaknya telah membiarkan tindakannya itu sebagai teks terbuka yang multitafsir.

Salah satu cara untuk menyambung kesenjangan epistemologis antara gugus pemikiran Gus Dur dengan nalar kolektif adalah menarasikan “cetak biru” Gus Dur melalui kerja-kerja rasional. Pertama dan utama, harus mampu melihat sosok Gus Dur bukan dari keagungan darah aristokrasi keagamaannya, tetapi lebih kepada substansi argumentsi rasionalnya. Dalam konteks ini, pemikiran dan aksi Gus Dur pada umumnya mengerucut kepada tiga aras nilai utama, (1) nilai-nilai kemanusiaan universal, (2) imparsialitas keadilan, (3) impersonalitas politik-kekuasaan. Ketiga nilai perenial inilah yang tidak henti-hentinya diperjuangkan Gus Dur sepanjang hayatnya.

Tidak mengherankan jika kemudian Greg Barton (2000), dosen senior di Deakin University, mengkategorikan Gus Dur sebagai sosok intelektual muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya realitas sosial bahwa Indonesia itu beragam. Pada titik tertentu, kecintaan Gus Dur yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya tradisional dan doktrin Islam telah menjadikan Gus Dur sebagai sosok demokrat liberal. Inilah faktor penting yang kemudian menjadikan Gus Dur sebagai tokoh yang sangat getol membela kepentingan kaum minoritas. Sedangkan M. Syafi’i Anwar (2015), tokoh Muhammadiyah, menulis bahwa Gus Dur tidak sekedar nyeleneh dengan karakternya yang khas, tetapi juga news maker dari semua dimensi. Perkataan dan perbuatan Gus Dur akan menjadi berita heboh jika sudah menggelinding.

Jombang seharusnya sangat bersyukur memiliki tokoh besar selevel Gus Dur. Sebagai kabupaten yang identik dengan sebutan Kota Santri, warga Jombang sudah saatnya banyak belajar dari prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh para tokoh besar dari daerah ini, salah satunya Gus Dur. Kesederhanaan Gus Dur dalam hidup sudah saatnya menjadi new spirit bagi para aparatur pemerintahan ketika melayani rakyat, bukan selalu menuntut hak terlebih dahulu.

Netralitas Gus Dur dari ambisi kekuasaan patut ditiru oleh para calon pemimpin negeri ini sebelum dan ketika terjun ke dunia politik praktis. Sudah saatnya para elit di negeri ini tidak terjebak kepada pemenuhan aksesoris sosial, seperti kekayaan, jabatan dan popularitas. Tetapi lebih berorientasi kepada realiasasi dari konsep reformasi kultural secara substantif-filosofis.

Konsistensi Gus Dur untuk tetap menimba ilmu dari semua lapisan masyarakat harus tetap dilestarikan guna membentuk karakter inklusif dengan open mind sebagai ujung tombak. Keberanian Gus Dur untuk membela kepentingan rakyat kecil dan kaum minoritas patut tetap dijaga dalam melakukan cheks and balances terhadap jalannya pemerintah.
***

**) Mukani, peminat buku, pegiat literasi dan pengelolal Griya Pustaka Kayangan (GPK) Jombang. Alamat: Desa Kayangan Gang 3 No. 14 Kecamatan Diwek Jombang Jawa Timur 61471. (HP/WA. 085704280931). Rekening BRI Unit Cukir Jombang Nomor: 3638-01-010832-53-2 atas nama Mukani. NPWP: 89.968.693.5-655.000.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/gus-dur-dan-akrobat-politik/
https://selasastrain.blogspot.com/2020/02/de-gusdurisasi-dan-kolor-kekuasaan.html
https://selasastrain.blogspot.com/2020/02/rasanrasan-boengaketjil-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar